Selasa, 23 Februari 2016

Nihon Daisuki! Nana (7)

Nihon Daisuki!
Nana

          Satu bulan berlalu setelah Mitsuo ditemukan. Aku masih memegang janjiku untuk selalu melindunginya. Aku harap Allah mengabulkan doaku supaya pamannya Mitsuo kembali baik padanya.
          Hari Senin tiba, dan aku dan teman-teman mendapat berita mengenai guru baru yang akan mengajari pelajaran terakhir ini, yaitu Geografi. Aku penasaran. Kira-kira siapa yang akan mengajari kita Geografi?
          Setelah aku dan teman-teman duduk di kursi masing-masing, Eri sensei masuk bersama seorang wanita cantik berambut panjang lurus bewarna coklat kemerahan. Sepertinya beliau adalah guru barunya.
          “Ohayou Gozaimasu,” salam Eri sensei.
          “Ohayou Gozaimasu,” salam kami semua.
          “Ja, seperti yang kalian sudah dengar, sekolah kita kedatangan guru baru. Sekarang perkenalkan dirimu,” kata Eri sensei.
          Guru baru itu lalu memperkenalkan diri. “Hajimemashite. Watashi wa Hikaru desu. Doozo yoroshiku onegai shimasu.
          “Oke, sekarang waktunya pelajaran Bahasa Jepang. Kalian akan diajari Geografi dengan Hikaru sensei di jam terakhir,” kata Eri sensei.
          “Hai,” kata kami semua. Lalu kami mulai belajar Bahasa Jepang.
          Setelah pelajaran Bahasa Jepang, aku mengobrol bersama teman-teman di kelas. Kami sedang mengobrol mengenai guru baru tadi.
          “Aku harap guru itu baik,” kata Nagisa, “aku tidak suka guru yang galak.”
          “Tapi beliau cantik sekali,” kata Daichi.
          “Aku juga berpikiran begitu,” kataku.
          Kemudian, Eri sensei datang. “Koizumi, kamu ikut saya ke ruang guru.”
          “Oh, Hai,” jawab Nagisa, lalu dia pergi mengikut Eri sensei ke ruang guru. Kami juga mengikutinya, karena kami ingin tahu ada apa.
          Sesampainya di ruang guru, kami melihat seorang pria dan wanita sedang mengobrol dengan Hikaru sensei.
          “Otousan (ayah), okaasan (ibu), kalian sedang apa di sini?” Oh, ternyata mereka orang tua Nagisa.
          Namun....
          “Nagisa!” Hikaru sensei memeluknya sambil menangis. Kita semua pun bingung. Kenapa Hikaru sensei memeluk Nagisa sambil menangis? Dan kenapa orang tua Nagisa juga ada di ruangan?
          “Apa yang terjadi di sini?” tanya Nagisa, “kenapa sensei memelukku? Dan kenapa sensei menangis?”
          “Nagisa,” kata Mamanya, “maafkan kami, nak. Kami bukan orang tua kandungmu.”
          Semuanya kaget. Nagisa shock sekali. “Jadi kalian...bukan orang tuaku?!”
          Orang tua Nagisa menggeleng. Mata Nagisa berkaca-kaca. Dia masih shock. “Apa maksud semua ini?” tanya Nagisa.
          Hikaru sensei mulai bercerita. Sejak Nagisa dilahirkan Hikaru sensei, ayah Nagisa meninggal karena kecelakaan mobil saat pergi ke rumah sakit untuk menyambut Nagisa. Karena Hikaru sensei tidak sanggup mengurus Nagisa sendirian, beliau menitipkan Nagisa ke temannya Hisako (Ibu angkat Nagisa) dan suaminya Tetsu (Ayah angkat Nagisa) untuk menjaga Nagisa.
          Tante Hisako melanjutkan cerita. Beliau dan suaminya melakukan semuanya demi membuat Hikaru sensei bahagia. Mereka janji akan memberi tahu soal orang tua yang sebenarnya ketika Nagisa sudah dewasa, tapi sudah terlambat sekarang.
          Air mata mengalir di pipi Nagisa. Dia tidak menyangka Hikaru sensei adalah ibu kandungnya. “Hiks...Okaasan!” isak Nagisa.
          “Sumimasen, Nagisa. Ibu tidak akan meninggalkan kamu lagi, nak!” tangis Hikaru sensei, “Ibu sayang sama kamu, nak!”
          “Aku juga sayang sama ibu!” Nagisa memeluk erat ibu kandungnya. Suasananya begitu mengharukan. Beberapa guru menangis, begitu pula aku dan teman-teman. Kami semua terharu dan senang melihat mereka. Seorang anak bertemu dengan ibu yang melahirkannya. Benar-benar tidak disangka, Hikaru sensei adalah ibu kandung Nagisa. Terima kasih Ya Allah, engkau telah mempertemukan kembali temanku dengan ibunya, doaku dalam hati sambil menghapus air mataku.
          Setelah Nagisa bertemu kembali dengan ibu kandungnya, Nagisa berterima kasih kepada kedua orang tua angkatnya yang selama ini merawat dan membesarkannya.
******
          “Mengharukan sekali bukan?” tanyaku.
          “Iya,” kata Roni, “Roni jadi ingat cerita yang Bu Shinta bicarakan ke kita. Benarkan, Rani?”
          “Iya,” jawab Rani, “cerita itu sangat mengharukan sehingga membuat Rani menangis, dan ketika Kak Gianna cerita tentang reuni temannya dengan ibu kandungnya, Rani jadi ingat lagi ceritanya Bu Shinta.”
          Aku merasa ingin menangis lagi, tapi aku menghela napas untuk menahannya sebelum melanjutkan cerita.

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar