Senin, 29 Februari 2016

Nihon Daisuki! Juu (10)

Nihon Daisuki!
Juu

          Hari Senin di sekolah, aku dan teman-teman melihat Eri sensei memasuki kelas dengan seorang pria bertubuh tinggi. Kami semua bertanya-tanya. Siapa, ya pria itu?
          “Ohayou Gozaimasu,” salam Eri sensei kepada kami.
          “Ohayou Gozaimasu,” salam kami.
          “Minna-san, apakah kalian tahu siapa laki-laki ini?” tanya Eri sensei.
          “Wakarimasen (Tidak tahu),” jawab kami semua.
          “Ja,” kata Eri sensei, Minna-san, laki-laki ini adalah Fujisaki Honekawa. Beliau dari salah satu stasiun TV di Jepang, dan beliau ingin membuat artikel tentang 10 sekolah terbaik di Jepang, dan Sekolah Itsumura adalah salah satu sekolah yang terbaik menurutnya.”
          Kami semua kaget. Kami semua tidak menyangka, sekolah kami akan masuk TV! Oh My God!
          Eri sensei lalu mengatakan, “karena ada 25 murid di kelas ini, saya akan memilih 5 murid terbaik untuk di wawancara di auditorium di lantai pertama, dan 5 murid yang saya pilih adalah....”
          Suasana menjadi tegang. Siapa 5 murid yang dipilih Eri sensei untuk di wawancara?
          “...Mitsuo, Tadashi, Nagisa, Ken, dan Gianna.”
          Mendengar ini, aku langsung menunjuk tangan. “Sensei, kenapa sensei memilihku sebagai murid terbaik?” tanyaku.
          “Gianna-san,” jawab Eri sensei, “alasan saya memilih kamu sebagai murid terbaik karena kamu selalu menginspirasi kami semua dengan sebagian budaya negaramu, dan kamu adalah murid dari Indonesia pertama yang belajar di sekolah ini.”
          Aku pun senang sekali mendengar itu. Kata-kata Eri sensei seperti apa yang dikatakan Reiko kepadaku kemarin ketika piknik di taman Sakura:
          kamu sudah mempunyai teman-teman di sini, dan kami beruntung mempunyai kamu, karena walaupun kamu dari luar negeri, kamu sangat berarti, dan kamu menginspirasi kami dengan membagi bagian dari budayamu.”
          Doumo Arigatou Gozaimasu (Terima kasih banyak), sensei,” kataku senang sekali, lalu waktunya untuk belajar.
******
          Setelah semua pelajaran berakhir, waktu wawancara pun dimulai di auditorium sekolah. Banyak murid terbaik dari kelas lainnya yang sedang wawancara, begitu pula murid-murid terbaik dari SD dan SMP Itsumura.
          Sebelum diwawancara, aku bertanya kepada Mitsuo dan Nagisa. “Kenapa kalian terpilih menjadi murid terbaik?”
          Mitsuo menjawab, “aku terpilih menjadi murid terbaik karena aku kreatif dan suka menggambar Manga. Aku ingin menjadi komikus saat aku besar nanti.”
          Sementara Nagisa menjawab, “aku terpilih menjadi murid terbaik karena aku suka menari, dan aku ingin membuka kursus tari sendiri dan menjadi koreografer.”
          Tak lama kemudian, aku mulai di wawancara oleh salah satu wartawan. Banyak pertanyaan yang diajukan si wartawan untuk Gianna. Mulai dari nama, umur, kota asal, sejak kapan belajar Bahasa Jepang, suka duka belajar di sekolah Itsumura, dan lain-lain. Wawancara berlangsung sampai jam 2 siang.
          Di apartemen, aku bercerita kepada Mama tentang kejadian tadi di sekolah.
          “Gianna terpilih sebagai murid terbaik,” kataku, “Mitsuo dan Nagisa juga. Kami bertiga di wawancara, ma.”
          Mama tersenyum. “Mama bangga sekali sama kamu, nak! Ibu tidak sabar melihat hasil wawancara kamu kalau artikelnya sudah ada.”
          Malam itu saat aku membantu Mama memasak shabu-shabu untuk makan malam, aku mendapat BBM dari Reiko. Aku harus menyalakan channel TV yang mewawancarai Sekolah Itsumura. Aku lalu mencuci tangan lalu menyalakan TV. Kemudian aku mencari channel TV yang dimaksud Reiko.
          Melihat apa yang ditayangkan di channel TV itu, aku terkejut bukan main. Mama yang mendengarku teriak langsung menghampiriku. Aku lalu menunjuk TV. Sekolah Itsumura sudah di tayangkan bersama aku dan murid-murid lainnya yang di wawancara. Aku senang sekali.
          Keesokan harinya ketika istirahat, aku dan teman-teman melihat berita di bulletin sekolah tentang Sekolah Itsumura masuk TV. Aku tidak akan melupakan pengalaman itu.
******
          “Wah, aku harap sekolah Roni dan Rani bakal di wawancara juga,” kata Roni, “terus kalau Pak Eddy memilih Roni, Roni bakal di wawancara.”
          “Hey, jangan lupa Rani, dong! Rani juga mau di wawancara!” kata Rani.
          “Iya, tapi kan kamu harus punya bakat bagus. Roni aja pinter Bahasa Inggris. Kalau Rani, cuma mau jadi psikolog,” ejek Roni.
          “Iih, Kak Roni nyebelin, deh!” Rani pun kesal. Semuanya pun tertawa. Lalu aku melanjutkan cerita.
******

Kamis, 25 Februari 2016

Nihon Daisuki! Kyuu (9)

Nihon Daisuki!
Kyuu

          Keesokan harinya setelah festival sekolah berakhir, aku dan Mama pergi ke taman sakura untuk piknik, karena hari ini adalah hari Minggu, dan Sekolah Itsumura libur di hari Minggu. Jadi, waktunya untuk melakukan sesuatu menyenangkan!
          Saat piknik di taman sakura, aku sangat menikmati piknik ini, karena suasana di taman Sakura sangat indah. Aku melihat putik-putik bunga Sakura berjatuhan, lalu aku menangkap beberapa putik untuk diletakkan di jurnalku.
          Namun, ketika aku sedang menikmati suasana saat piknik, tiba-tiba....
          “Gianna-san!” Seseorang mengagetkanku. Aku lalu menengok ke belakang. Ternyata Reiko!
          “Reiko-san!” seruku. Kami berdua pun berpelukan, lalu kami duduk dan mengobrol bersama setelah aku meminta izin kepada Mama.
          “Kamu suka Sakura, ya?” tanya Reiko.
          “Iya,” jawabku, “aku suka membayangkan diriku di Jepang lalu menikmati banyak hal menarik, terutama menikmati suasana di taman sakura karena dia suka melihat gambar-gambar Pohon Sakura dan orang-orang yang piknik dibawahnya.”
          “Aku juga mengalami hal yang sama,” kata Reiko, “piknik di pohon sakura sangat menyenangkan, apalagi sama teman dan keluarga.”
          “Iya,” kataku, “sekarang aku senang banget bertemu denganmu, lalu kita mengobrol bersama ketika piknik.”
          Reiko tersenyum. Lalu aku melanjutkan, “tapi, pikniknya akan lebih seru kalau seluruh keluargaku di sini. Tapi mereka di Indonesia dan aku cuma tinggal bersama mamaku di sini. Aku merindukan papa, adik-adik, kakek, nenek, om, tante, dan sepupu-sepupuku.” Lalu, mataku berkaca-kaca.
          Reiko mengelus pundakku. “Yang sabar ya, Gianna. Aku mengerti perasaanmu. Tapi kan kamu sudah mempunyai teman-teman di sini, dan kami beruntung mempunyai kamu, karena walaupun kamu dari luar negeri, kamu sangat berarti, dan kamu menginspirasi kami dengan membagi bagian dari budayamu.”
          Aku tersenyum haru mendengar kata-kata Reiko, lalu aku memeluk Reiko. “Terima kasih, Reiko-san,” kataku.
“Sama-sama, Gianna-san,” kata Reiko.
          Hari pun mulai sore. Aku lalu berpamitan dengan Reiko lalu kembali ke apartemen bersama Mama naik taksi.
          Malamnya setelah Shalat Magrib, aku dan Mama mengobrol kembali dengan keluarga di laptop Mama karena kangen.
******
          “Kamu kangen banget ya, sama kita?” tanya Mas Edwin.
          “Ya, iyalah,” kataku, “aku kangen sama obrolan kita, waktu kita main banyak permainan, dan aku juga kangen sama tawa kita.”
          “Well, sekarang karena Kak Gianna sudah pulang, kita bisa ngobrol sama ketawa lagi, deh!” kata Roni. Kami semua pun tertawa. Lalu aku melanjutkan cerita.

******

Rabu, 24 Februari 2016

Nihon Daisuki! Hachi (8)

Nihon Daisuki!
Hachi

          Hari Jumat, aku melihat teman-teman berkumpul di meja Daichi. Aku penasaran. Ada apa ya?
          “Minna, kalian sedang apa?” tanyaku kepada mereka.
          “Kami sedang membicarakan festival sekolah bulan depan setelah ujian tengah semester,” jawab Reiko, “Mira senpai (kakak kelas) bilang masing-masing kelas harus membuat sesuatu untuk festival sekolah, seperti cafe, pameran, toko mainan, atau yang lain.”
          “Kalau begitu, bagaimana kalau kita bikin kios makanan-makanan Jepang?” usulku, “kita bisa menyajikan makanan-makanan kecil seperti Takoyaki, Okonomiyaki, Gyoza, Nigiri, dan Sushi.”
          Daichi lalu berdiri dari tempat duduknya. “Wow, ide yang bagus sekali, Gianna-san!”
          Reiko dan Nagisa mengangguk. “Iii desune (bagus sekali)!”
          “Aku juga berpikir itu ide yang bagus,” kata Mitsuo, “sekarang ayo kita beri tahu ide ini ke OSIS!”
          Kami lalu bergegas pergi ke ruang OSIS dimana ketua OSIS, Haruki senpai dan para anggota OSIS sedang berdiskusi festival sekolah. Kami harap mereka suka dengan ide kios makanan kami, dan mereka menyukainya. Kami pun puas dengan ide kami, dan kami tidak sabar untuk festival sekolah bulan depan.
******
          Beberapa hari kemudian setelah minggu ujian tengah semester berlalu, waktunya festival sekolah. Aku dan teman-teman menyiapkan kios makanan kami di tempat yang telah disediakan OSIS. Banyak sekali kios yang disediakan anak-anak lain dari kelas kami. Ada yang menyediakan kios kerajinan tangan, kios makanan kecil lagi, dan lain-lain. Selain itu, karena festival sekolah diadakan di lantai 1 tempat anak-anak SD belajar, ada juga yang menyediakan cafe.
          Setelah menyiapkan kios dan semua orang sudah datang, festival sekolahpun dibuka dengan tari Jyuunin Matsuri oleh anak-anak kelas 11. Aku pernah melihat tarian ini di sebuah festival Jepang di kota tempat tinggalku.
          Saat acara-acara lainnya berlangsung, Aku dan teman-teman mulai berjualan makanan Jepang. Banyak guru dan teman-teman yang ingin membeli. Tapi teman-teman dari SD dan SMP Itsumura juga mau beli, terutama Ruri, adiknya Daichi yang memesan Gyoza buatanku.
          “Hmm....Gianna no Gyoza wa oishii desune (Gyoza buatan Gianna enak sekali)," puji Ruri.
          Mendengar perkataan Ruri, wajahku langsung memerah karena malu. Teman-temanpun langsung tertawa.
          Festival sekolah berlangsung sampai sore. Tapi ada Talent show bernama Itsumura Got Talent yang direncanakan oleh OSIS sebelum festival selesai. Banyak murid yang ikut, terutama Daichi dan Nagisa, karena mereka mempunyai bakat yang terpendam.
          Talent show nya dibuka oleh Kazuki senpai sebagai pembawa acara. Dia memanggil kakak-kakak OSIS yang menjadi juri, mereka diberi julukan bintang bohongan. Ada Kimiko senpai (Divisi mading) yang dijuluki penyanyi dan aktris, Mamoru senpai (Divisi olahraga) yang dijuluki Rapper, dan Mira senpai (sekretaris) yang dijuluki musisi.
          Banyak murid yang menampilkan bakat mereka di Talent show ini. Ada yang menyanyi, menari, main alat musik, dan lain-lain. Daichi bermain gitar, dan Nagisa menampilkan tarian kontemporer yang dia tampilkan di kompetisi tari untuk mewakili kursus tarinya 2 bulan yang lalu. Semua murid melakukan banyak bakat yang bagus, tapi kata Kazuki senpai, hanya ada 5 juara.
          Saat Kazuki senpai mengumumkan juara, Daichi juara 3 dan Nagisa juara 1. Aku bangga sekali kepada mereka berdua. Aku lalu memeluk mereka setelah mereka turun dari panggung.
          Festival sekolah pun berakhir dengan menari bersama dengan api unggun di tengah. Sebuah momen menyenangkan ketika sekolah di Jepang bagiku, dan aku tidak akan melupakannya.
******
          “Aku harap ada festival sekolah di Indonesia,” kata Danang, “lalu kita bakal mendirikan kios makanan, kerajinan, atau yang lain untuk jualan sama ikut acara bakat atau lomba-lomba lain.”
          Gianna tertawa. “Kita tidak akan tahu kapan festival sekolahnya akan ada di sini atau di negara lain selain di Jepang, Danang!”
          Kami semua pun tertawa. Danang mengeluh, “oke, oke. Lanjutkan ceritanya!”

******

Selasa, 23 Februari 2016

Nihon Daisuki! Nana (7)

Nihon Daisuki!
Nana

          Satu bulan berlalu setelah Mitsuo ditemukan. Aku masih memegang janjiku untuk selalu melindunginya. Aku harap Allah mengabulkan doaku supaya pamannya Mitsuo kembali baik padanya.
          Hari Senin tiba, dan aku dan teman-teman mendapat berita mengenai guru baru yang akan mengajari pelajaran terakhir ini, yaitu Geografi. Aku penasaran. Kira-kira siapa yang akan mengajari kita Geografi?
          Setelah aku dan teman-teman duduk di kursi masing-masing, Eri sensei masuk bersama seorang wanita cantik berambut panjang lurus bewarna coklat kemerahan. Sepertinya beliau adalah guru barunya.
          “Ohayou Gozaimasu,” salam Eri sensei.
          “Ohayou Gozaimasu,” salam kami semua.
          “Ja, seperti yang kalian sudah dengar, sekolah kita kedatangan guru baru. Sekarang perkenalkan dirimu,” kata Eri sensei.
          Guru baru itu lalu memperkenalkan diri. “Hajimemashite. Watashi wa Hikaru desu. Doozo yoroshiku onegai shimasu.
          “Oke, sekarang waktunya pelajaran Bahasa Jepang. Kalian akan diajari Geografi dengan Hikaru sensei di jam terakhir,” kata Eri sensei.
          “Hai,” kata kami semua. Lalu kami mulai belajar Bahasa Jepang.
          Setelah pelajaran Bahasa Jepang, aku mengobrol bersama teman-teman di kelas. Kami sedang mengobrol mengenai guru baru tadi.
          “Aku harap guru itu baik,” kata Nagisa, “aku tidak suka guru yang galak.”
          “Tapi beliau cantik sekali,” kata Daichi.
          “Aku juga berpikiran begitu,” kataku.
          Kemudian, Eri sensei datang. “Koizumi, kamu ikut saya ke ruang guru.”
          “Oh, Hai,” jawab Nagisa, lalu dia pergi mengikut Eri sensei ke ruang guru. Kami juga mengikutinya, karena kami ingin tahu ada apa.
          Sesampainya di ruang guru, kami melihat seorang pria dan wanita sedang mengobrol dengan Hikaru sensei.
          “Otousan (ayah), okaasan (ibu), kalian sedang apa di sini?” Oh, ternyata mereka orang tua Nagisa.
          Namun....
          “Nagisa!” Hikaru sensei memeluknya sambil menangis. Kita semua pun bingung. Kenapa Hikaru sensei memeluk Nagisa sambil menangis? Dan kenapa orang tua Nagisa juga ada di ruangan?
          “Apa yang terjadi di sini?” tanya Nagisa, “kenapa sensei memelukku? Dan kenapa sensei menangis?”
          “Nagisa,” kata Mamanya, “maafkan kami, nak. Kami bukan orang tua kandungmu.”
          Semuanya kaget. Nagisa shock sekali. “Jadi kalian...bukan orang tuaku?!”
          Orang tua Nagisa menggeleng. Mata Nagisa berkaca-kaca. Dia masih shock. “Apa maksud semua ini?” tanya Nagisa.
          Hikaru sensei mulai bercerita. Sejak Nagisa dilahirkan Hikaru sensei, ayah Nagisa meninggal karena kecelakaan mobil saat pergi ke rumah sakit untuk menyambut Nagisa. Karena Hikaru sensei tidak sanggup mengurus Nagisa sendirian, beliau menitipkan Nagisa ke temannya Hisako (Ibu angkat Nagisa) dan suaminya Tetsu (Ayah angkat Nagisa) untuk menjaga Nagisa.
          Tante Hisako melanjutkan cerita. Beliau dan suaminya melakukan semuanya demi membuat Hikaru sensei bahagia. Mereka janji akan memberi tahu soal orang tua yang sebenarnya ketika Nagisa sudah dewasa, tapi sudah terlambat sekarang.
          Air mata mengalir di pipi Nagisa. Dia tidak menyangka Hikaru sensei adalah ibu kandungnya. “Hiks...Okaasan!” isak Nagisa.
          “Sumimasen, Nagisa. Ibu tidak akan meninggalkan kamu lagi, nak!” tangis Hikaru sensei, “Ibu sayang sama kamu, nak!”
          “Aku juga sayang sama ibu!” Nagisa memeluk erat ibu kandungnya. Suasananya begitu mengharukan. Beberapa guru menangis, begitu pula aku dan teman-teman. Kami semua terharu dan senang melihat mereka. Seorang anak bertemu dengan ibu yang melahirkannya. Benar-benar tidak disangka, Hikaru sensei adalah ibu kandung Nagisa. Terima kasih Ya Allah, engkau telah mempertemukan kembali temanku dengan ibunya, doaku dalam hati sambil menghapus air mataku.
          Setelah Nagisa bertemu kembali dengan ibu kandungnya, Nagisa berterima kasih kepada kedua orang tua angkatnya yang selama ini merawat dan membesarkannya.
******
          “Mengharukan sekali bukan?” tanyaku.
          “Iya,” kata Roni, “Roni jadi ingat cerita yang Bu Shinta bicarakan ke kita. Benarkan, Rani?”
          “Iya,” jawab Rani, “cerita itu sangat mengharukan sehingga membuat Rani menangis, dan ketika Kak Gianna cerita tentang reuni temannya dengan ibu kandungnya, Rani jadi ingat lagi ceritanya Bu Shinta.”
          Aku merasa ingin menangis lagi, tapi aku menghela napas untuk menahannya sebelum melanjutkan cerita.

******

Nihon Daisuki! Roku (6)

Nihon Daisuki!
Roku

          Keesokan harinya, ketika aku sedang siap-siap sekolah, aku mendapatkan BBM dari Reiko.
          Gianna-san, Mitsuo-san telah ditemukan!
          Aku kaget. Lalu aku membalas BBMnya.
          Yang benar?
          Reiko lalu menjawab BBMku.
          Iya. Tadi aku di SMS sama Eri sensei. Nagisa sama Daichi juga. Mitsuo baru ditemukan jam setengah 4. Dia pingsan, Gianna!
          Alhamdullillah, aku mengucap syukur di dalam hati. Mitsuo telah ditemukan, tapi dengan waktu yang bersamaan, aku juga khawatir. Mitsuo juga pingsan. Kira-kira apa yang terjadi sehingga dia pingsan?
          Ketika sarapan, aku memberitahu Mama tentang Mitsuo. Beliau pun ikut bersyukur ketika mendengarnya.
******
          Di sekolah, aku berkumpul bersama Reiko, Nagisa, dan Daichi di meja Reiko.
          “Kasihan Mitsuo, ya,” kata Nagisa.
          “Kenapa dia sampai pingsan begitu, ya?” tanya Daichi.
          “Aku tidak tahu,” jawabku, “aku harap dia tidak terluka.”
          “Kalau begitu, bagaimana kalau kita jenguk dia pas pulang sekolah?” usul Reiko, “aku ingin tahu apa yang terjadi dengannya.”
          “Ide yang bagus, Reiko-san!” kata Daichi, “bagaimana? Kalian mau ikut jenguk Mitsuo, kan?”
          “Aku ikut!” kataku.
          “Aku juga!” kata Nagisa.
          Lalu, bel masuk berbunyi. Kami bergegas duduk di kursi masing-masing.
******
          Pulang sekolah, kami pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Mitsuo. Kami ingin tahu apa yang terjadi sampai dia diculik.
          Di ruangan tempat Mitsuo dirawat, Mitsuo terlihat sangat lemas. Kedua orang tuanya ada di sampingnya. Kami khawatir sekali dengannya.
          “Mitsuo-san!” seru kami serempak.
          “Uh, minna (semuanya),” kata Mitsuo lemah.
          “Kamu tidak apa-apa?” tanyaku.
          “Aku tidak apa-apa. Cuma.....kemarin adalah hari yang menyedihkan bagiku,” jawab Mitsuo. Matanya berkaca-kaca.
          “Kenapa hari itu menyedihkan bagimu?” tanya Reiko.
          Mitsuo menghela napas. Lalu dia bercerita. “Kemarin aku diculik oleh anak buah pamanku. Lalu aku diajak bicara oleh pamanku. Beliau bilang, ‘jangan harap kedua orang tuamu bisa menyelamatkanmu, anak pembawa sial! Saya akan membuat hidupmu penuh dengan penderitaan!’”
          Kami kaget. “Kenapa pamanmu sekarang memanggilmu anak pembawa sial?” tanya Nagisa.
          “Minggu lalu, aku sedang jalan-jalan dengan sepupuku, Yuko. Tapi tiba-tiba saja, sebuah truk nyaris menabrakku. Tapi Yuko, dia menyelamatku. Aku harap masih baik-baik saja, tapi....nyawanya tidak bisa diselamatkan!” Mitsuo mulai menangis.
          Mendengar itu, mataku mulai berkaca-kaca. Lalu, Mitsuo melanjutkan cerita.
          “Sejak itu, Pamanku mulai benci padaku. Beliau mulai memanggilku anak pembawa sial. Karena dia pikir aku yang menyebabkan Yuko kecelakaan, dan itu benar. Semua ini salahku. Aku memang pantas disalahkan!”
          Aku dan teman-teman shock sekali. Aku berbicara dalam hati, Astagfirullah al-adzim. Tega sekali pamannya Mitsuo terhadap keponakannya sendiri walaupun dia hanya kurang berhati-hati. Rasanya aku ingin menangis. Aku turut kasihan pada temanku ini.
          Kami lalu mendekati Mitsuo. “Kami turut menyesal mendengar itu, Mitsuo-san,” kata Daichi, “kami janji. Kami akan selalu melindungimu apa adanya.”
          Mulut Mitsuo terbuka lebar. “Benarkah?”
          “Iya, Mitsuo,” jawabku, “kamu tidak boleh mengalahkan dirimu sendiri terus-menerus. Sekarang ada kami yang akan selalu melindungimu, dan kami akan selalu berdoa supaya pamanmu kembali baik seperti dulu.”
          Mitsuo menghapus air matanya. “Terima kasih, minna-san. Kalian baik sekali. Tuhan memberkati kalian.”
          Kami semua pun berpelukan. Dalam hati aku berdoa, Ya Allah, lindungi Mitsuo. Ampuni dosa-dosa pamannya. Buatlah beliau kembali baik kepada keponakannya sendiri. Amin ya rabbal alamin.
******
          “Hiks, kakak baik banget sama teman kakak,” kata Rani sambil menghapus air matanya karena haru. Aku lalu memeluknya erat.
          “Huh! Lagian sih, pamannya jahat,” kata Danang, “kira-kira dia bakal kembali baik nggak, sih?”
          “Kita, kan nggak pernah tahu kapan, Nang,” kata Mas Edwin, “sekarang lanjutkan ceritanya, Gianna-san.”
******

Nihon Daisuki! Go (5)

Nihon Daisuki!
Go

          Setelah pelajaran memasak selesai, waktunya istirahat. Aku dan keempat temanku mengobrol di taman sebelah sekolah. Kami mengobrol tentang anime favorit kami dan hal-hal menariknya.
          Tak lama kemudian, waktu istirahat pun selesai. Aku dan teman-temanku bergegas pergi masuk ke kelas.
          Sesampainya di kelas, tiba-tiba saja aku menyadari ada satu murid yang kurang.
          “Mitsuo-san kemana, sih?” tanyaku.
          “Entahlah. Mungkin dia lagi ke toilet,” kata Nagisa.
          Lalu, Daichi datang dengan terengah-engah. “Celaka! Bencana!” serunya.
          “Aduuh, Daichi. Bikin aku kaget saja!” gerutu Reiko, “ada apa?”
          “Lihat surat ini,” kata Daichi, “surat ini berhubungan dengan Mitsuo!”
          Kami langsung membaca surat itu. Kami menculik Mitsuo. Kalau kalian tidak menemukannya, dia akan celaka! Begitulah tulisan di surat itu. Kami semua shock.
          “Apa yang harus kita lakukan?” Daichi panik sekali, “Mitsuo pasti dalam bahaya besar!”
          “Sudahlah, Daichi. Jangan panik. Bagaimana kalau kita laporkan kejadian ini ke Eri sensei,” kataku, “setelah itu, kita cari Mitsuo sepulang sekolah. Bagaimana?”
          “Setuju!” jawab teman-teman serempak. Lalu aku, Reiko, Nagisa, dan Daichi pergi ke ruang guru untuk menunjukkan surat penculikan Mitsuo ke Eri sensei. Beliau terkejut sekali setelah membaca surat tersebut. Beliau lalu menyuruh kami masuk kembali ke kelas dan beliau akan menelpon kedua orang tua Mitsuo.
******
          Pulang sekolah, aku mengirimkan pesan ke Mama kalau hari ini dan teman-teman langsung pergi mencari Mitsuo di berbagai tempat. Kedua orang tua Mitsuo juga ikut mencari bersama para guru. Mereka shock sekali setelah mengetahui putra mereka diculik.
          Setelah kecapaian mencari, tidak ada tanda dimana Mitsuo berada. Kami pun meminta maaf kepada orang tua Mitsuo. Untung saja mereka bilang tidak apa-apa. Lalu kami bergegas pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan sedih.
          Sesampainya di apartemen, aku menceritakan kejadian tadi kepada Mama.
          “Masya Allah,” Mama terlihat shock, “kenapa dia bisa diculik seperti itu, nak?”
          “Gianna sendiri juga nggak tahu, Ma,” jawabku, “tadi habis istirahat, Gianna sama teman-teman langsung ke kelas, tapi Mitsuo nggak ada. Reiko bilang mungkin dia lagi di toilet. Terus Daichi datang. Dia panik banget. Terus dia menunjukkan surat. Surat itu...berisi kalau Mitsuo diculik.”
          Mama lalu mengelus punggungku. “Udah. Jangan sedih. Kamu doakan saja dia. Mama yakin, Mitsuo akan baik-baik saja, kok.”
          Aku tertegun. Yang dikatakan Mama benar. “Terima kasih, Ma,” kataku. Lalu kami berdua bergegas pergi makan siang. Setelah itu, aku Shalat Ashar, dan setelah selesai shalat, aku berdoa.
          “Ya Allah, semoga Mitsuo cepat ditemukan, datangkanlah keajaiban kalau Mitsuo baik-baik saja, ya Allah. Amin ya rabbal alamin,” doaku.
******
          “Hiiiy.... Rani jadi takut nih,” kata Rani, “soalnya sekarang ada banyak penjahat, kan?”
          “Iya,” kata Roni, “tapi kan ada Kak Gianna yang siap melindungi kita.”
          Aku tertawa kecil. “Tapi kamu juga mesti lindungin Rani dong, Ron. Walaupun kalian kembar, tapi kamu yang pertama lahir.”
          “Oke, oke. I got it,” keluh Roni, “sekarang lanjutkan ceritanya, Kak.”
******

Senin, 22 Februari 2016

Nihon Daisuki! Yon (4)

Nihon Daisuki!
Yon

          Hari ini adalah hari keduaku sekolah di Jepang. Aku sangat bersemangat hari ini. Kenapa? Karena hari ini ada pelajaran memasak, dan itu adalah pelajaran favoritku. Kami akan belajar itu di jam pertama, dan aku sangat tidak sabar.
          Di Sekolah Itsumura, pelajaran memasak hanya ada untuk anak-anak SMP dan SMA. Masing-masing murid harus memakai celemek sendiri. Dapurnya berada di lantai 2 tempat anak-anak SMP belajar.
          Sesampainya di dapur, kami berlima memakai celemek kami masing-masing, lalu guru memasak, Ichiro sensei datang ke dapur.
          “Ohayou gozaimasu,” salamnya.
          “Ohayou gozaimasu,” salam kami semua serempak.
          “Sekarang, kalian harus memasak makanan dengan tema daging. Kalian boleh memilih daging apa saja. Tapi kalian punya 80 menit untuk memasak,” kata Ichiro sensei, lalu kami bergegas pergi ke pantri untuk mengambil bahan.
          Karena temanya daging, aku memutuskan untuk membuat hidangan Indonesia kesukaanku, yaitu semur daging. Aku tidak sabar untuk menunjukkan ini kepada teman-teman.
          Ketika aku memasak, Ichiro sensei mendekatiku.
          “Hmmm.....oishii (enak),” katanya, “kau sedang memasak apa, Gianna-san?”
          “Semur daging,” jawabku sambil mengaduk panci berisi semurnya.
          Ichiro sensei lalu mencicipi masakanku dengan sendoknya, lalu beliau mengangguk dengan senyum. Aku pikir, beliau pasti menyukainya.
          80 menit berlalu. Waktunya Ichiro sensei untuk mencicipi semua hidangan, lalu beliau bilang kita bisa mencicipi semua hidangan, jadi aku bisa mencicipi hidangan teman-teman.
          “Hmm...oishi desune (enak sekali), Reiko-san,” pujiku setelah aku mencicipi nasi kari ayam karage buatan Reiko.
          “Gianna-san mo (juga). Oishi desune!,” puji Reiko setelah dia mencicipi semur dagingku. Lalu aku mencicipi hidangan buatan Nagisa, Daichi, dan Mitsuo, kemudian mereka mencicipi hidanganku.
          “Oishi desune!” puji mereka bertiga kepadaku. Aku jadi senang sekali.
          “Gianna-san, kapan-kapan kamu ajarkan kita cara memasak makanan Indonesia, ya!” kata Daichi.
          “Iya, aku ingin tahu banyak makanan dari negara kamu,” kata Nagisa.
          “Aku juga,” kata Mitsuo.
          “Iya,” kataku, “kapan-kapan aku ajarkan. Tapi aku juga mau diajari kalian cara memasak makanan Jepang.”
          “Dengan senang hati!” kata keempat temanku bersamaan.
******
          “Wah, Danang jadi laper, nih!” Danang mengelus perutnya.
          “Kenapa? Mau cicip hidangannya Gianna?” goda Mas Edwin. Danang mengangguk.
          Aku tertawa kecil. “Nanti kakak buatin kapan-kapan, ya,” kataku.
          “Hehehe, iya, Kak,” kata Danang, “sekarang lanjutin dong, ceritanya.”
****** 

Nihon Daisuki! San (3)

Nihon Daisuki!
San

          Hari ini adalah hari pertamaku sekolah di Jepang, dan sekolah yang aku masuki adalah Itsumura no gakkou yang artinya Sekolah Itsumura. Aku pergi diantar taksi bersama Mama yang akan pergi kerja.
          “Gianna sekolah dulu, ya Ma,” kataku sambil mencium tangan Mama setelah kami sampai di Sekolah Itsumura, “assalamualaikum.”
          “Waalaikumsalam. Pake Bahasa Jepangnya, ya nak!” kata Mama.
          Setelah pamit, aku langsung berjalan ke Sekolah Itsumura yang megah beserta halaman yang dipenuhi pohon sakura. Pasti adik-adikku akan suka melihat sekolah ini, batinku. Namun, ketika berjalan masuk, seseorang menabrakku di belakang.
          “Oh!” aku kaget.
          “Sumimasen, sumimasen! (Maaf, maaf!)” kata gadis yang tadi menabrakku.
          “Eh, daijoubu desu (tidak apa-apa)” aku mulai berbahasa Jepang, lalu kami berdua berjalan ke kelas sambil memperkenalkan diri.
          “Hajimemashite. Watashi wa Gianna desu (Perkenalkan. Aku Gianna),” kataku.
          “Hajimemashite. Reiko desu (Perkenalkan. Aku Reiko),” kata gadis itu.
          “Doozo yoroshiku onegai shimasu (Senang bertemu denganmu),” kataku lagi. Reiko pun mengatakan hal yang sama.
          Sekolah Itsumura mempunyai tiga lantai. Lantai satu untuk SD, lantai dua untuk SMP, dan lantai tiga untuk SMA. Jadi aku belajar di lantai tiga. Aku harus naik tangga dan itu sangat membuatku kecapaian.
          “Koko wa kyoushitsu desu (Ini kelas),” kata Reiko.
          Aku terkagum-kagum dengan kelasnya. “Waa, hiroi (wah, luas),” kataku. Kemudian, bel masuk berbunyi. Aku dan Reiko bergegas duduk. Murid-murid lain masuk ke kelas.
          Setelah semuanya duduk, seorang sensei (guru) wanita bertubuh langsing, kulit putih, dan berambut hitam bergelombang masuk ke kelas.
          “Ohayou gozaimasu (selamat pagi),” salam sensei itu.
          “Ohayou gozaimasu!,” jawab kami semua serempak.
          “Hari ini, kita kedatangan murid baru. Ayo perkenalkan dirimu di depan kelas,” kata sensei itu dengan ramah.
          Aku lalu maju ke depan lalu memperkenalkan diri dengan Bahasa Jepang. “Hajimemashite. Watashi no namae wa Gianna desu. Doozo yoroshiku onegai shimasu (Perkenalkan. Namaku Gianna. Senang bertemu),” kataku.
          “Ja (baik). Shitsumon ga arimasuka (ada pertanyaan)?” tanya sensei itu.
          “Hai, sensei (Iya, guru),” kata salah seorang murid laki-laki.
          “Silahkan bertanya,” kata sensei itu.
          “Doko kara kimashitaka (dari mana asalmu)?” tanya murid itu.
          “Watashi wa Indonesia kara kimashita (aku berasal dari Indonesia),” jawabku. Mulut semua murid menganga lebar. Kemudian, ada murid lagi yang bertanya.
          “Kenapa kamu pindah?” tanya murid itu.
          “Ibuku mendapat tugas kerja di sini,” jawabku, “beliau seorang dosen Bahasa Jepang dan beliaulah yang mengajariku Bahasa Jepang sejak umurku 7 tahun.”
          Semua murid ber-oh panjang. Lalu banyak yang memberiku pertanyaan. Ada yang bertanya mengenai keluargaku, hobi, dan lain-lain. Namun mereka tidak bisa bertanya banyak karena waktunya belajar. Nama sensei itu adalah Eri.
          Pelajaran pertama adalah Bahasa Jepang, dan Eri sensei adalah gurunya. Walaupun ini pertama kali aku belajar Bahasa Jepang di negaranya sendiri, aku masih harus belajar banyak kata, dan Eri sensei sangat baik padaku.
          Setelah pelajaran Bahasa Jepang selesai, waktu istirahat tiba dan Reiko memperkenalkanku kepada ketiga temannya. Nama mereka adalah Nagisa, Daichi, dan Mitsuo. Kami lalu mengobrol bersama.
          Sepulang sekolah, aku menceritakan hari pertamaku di sekolah ke Mama. Kemudian kami shalat Ashar lalu mengobrol dengan Papa, Roni, Rani, Kakek, dan Nenek di laptop.
******
          “Baik banget nggak, teman-teman kamu?” tanya Mas Edwin.
          “Mereka baik banget, Mas,” jawabku.
          “Wah, harapin aja Roni bisa ketemu sama mereka,” kata Roni.
          “Tapi Kak Roni bagus nggak, Bahasa Jepangnya?” goda Rani.
          Roni terdiam. Kami semua tertawa, lalu aku melanjutkan cerita.

******

Senin, 15 Februari 2016

Nihon Daisuki! Ni (2)

Nihon Daisuki!
Ni

         Liburan 2 minggu telah berlalu. Sekarang waktunya aku dan Mama pergi ke Jepang. Papa, kedua adik, kakek dan nenek mengantar kami ke bandara untuk mengucapkan selamat tinggal.
          Sesampainya di bandara, kami melakukan kegiatan berbeda sambil menunggu pesawatnya datang. Aku memilih mengobrol dan tertawa dengan adik-adikku. Namun Mama mengajakku bicara.
          “Nak, kan kamu akan mulai sekolah besok. Pakai Bahasa Jepangmu, ya,” kata Mama.
          “Iya, Ma. Mulai besok Gianna akan memakai Bahasa Jepang Gianna,” kataku, “dan Gianna akan membuat banyak teman disana.”
          Mama mengangguk. Lalu terdengar pengumuman mengenai pesawat tujuan Tokyo yang akan kami berdua naiki. Kami harus berpamitan dengan Papa, kedua adik, Nenek, dan Kakek.
          “Kalian berdua sekolah yang baik, ya!” kataku sambil memeluk kedua adik.
          “Iya...hiks, kakak juga, ya!” Rani menangis. Aku pun menghapus air matanya.
          “Hubungi kami kalau kakak dan Mama sudah sampai Jepang,” kata Roni dengan mata berkaca-kaca. Lalu, aku dan Mama segera check in bersama penumpang-penumpang lain.
******
          Tak lama kemudian, pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Narita, Tokyo, Jepang. Aku dan Mama bergegas keluar dari pesawat, lalu makan di sebuah restoran Jepang di dalam bandara.
          Setelah makan, aku dan Mama bergegas memasuki sebuah apartemen. Lalu kami Shalat Zhuhur dan melihat-lihat suasana kota Tokyo di luar sampai kami kecapaian dan tidur. Aku tidak sabar untuk memasuki sekolah baru dan membuat banyak teman.
******
          “Suasana di Tokyo gimana, Kak?” tanya Rani.
          “Suasana di Tokyo indah banget di malam hari,” jawabku, “banyak sekali cahaya yang bersinar. Kakak harap kakak bisa mengajak kalian.”
          “Ajak Rani dong, Kak!” kata Rani.
          “Tapi kamu harus jago Bahasa Jepang, dong kayak Kak Gianna!” goda Roni, “soalnya kalau nggak bisa Bahasa Jepang, nggak bisa ke Jepang. Benar kan, kak?”
          “Huu!” aku mendorong tubuh Roni, lalu kami tertawa. Dia memang suka menggodaku dan Rani.
          “Oke, sekarang mau dilanjutin nggak, ceritanya?” tanyaku.
          “Mau!” seru Roni, Rani, dan Danang.
******