Kamis, 02 Juli 2015

Penyesalan Gadis Sombong

Penyesalan Gadis Sombong

Citra adalah anak yang berprestasi di sekolahnya. Dia paling suka bergaya, main drama, dan pintar Bahasa Jepang. Tapi walaupun dia berprestasi, banyak murid yang tidak suka kepadanya, karena Citra mempunyai sifat sombong dan tak tahu diri. Seperti pagi ini.
Guys, coba lihat nih, pulpen baru gue. Bagus, kan?” Citra memamerkan pulpen barunya ke Della, Siti, dan Rashida.
“Wah, bagus banget. Lo beli dari mana?” tanya Siti sambil memandang terus pulpen Citra.
“Di Jepang,” jawab Citra dengan sombong.
“Jepang?” Rashida tampak terkagum-kagum dengan pulpen itu, “gue boleh pengang, nggak?”
“Enak aja, nggak boleh!” bentak Citra, “pulpen ini punya gue, dan jangan harap gue bisa meminjamkan ini ke lo!” Lalu dia duduk di kursinya yang berada paling depan.
Della, Siti, dan Rashida merasa jengkel dengan sikap Citra. Mereka bergegas pergi menjahuinya.
Buat apa minjemin pulpen ini ke teman-teman? batin Citra, biar mereka saja cari sendiri. Lagipula gue ini orang kaya, dan gue tidak mau membagikan kekayaan gue ke siapapun, terutama yang selalu hidup melarat. Hahahaha!
Kemudian, ada murid yang datang. Ternyata Afifah, salah satu teman yang paling dibenci Citra karena dia merupakan murid yang paling berprestasi darinya, tapi Afifah itu murid yang baik dan tidak sombong walaupun dia cuma anak biasa saja.
Setelah Afifah duduk, dia mengeluarkan sebuah buku. Della, Siti, dan Rashida datang menghampirinya.
“Hei, Fah. Buku apa itu?” tanya Siti.
“Ini buku kesukaaan gue. Gue kadang-kadang selalu membaca buku ini di rumah. Soalnya buku ini berisi lucu-lucuan,” jawab Afifah.
“Wah, bagus banget. Gue boleh lihat, nggak?” tanya Della, “kalau ada buku yang isinya lucu-lucuan, gue jadi pengen baca.”
“Boleh, tapi jangan lupa dikembaliin, ya,” kata Afifah sambil menyerahkan bukunya ke Della.
Melihat Afifah meminjamkan bukunya ke teman-temannya, Citra merasa iri. Dia memang orang kaya, tapi banyak orang yang menyukai Afifah daripada dirinya. Uuuughh, jangan si sok baik itu lagi! Walaupun dia cuma biasa, tapi selalu saja disukain sama banyak orang daripada gue, batin Citra kesal, lalu dia mempunyai ide nakal terbayang di kepalanya. Diapun tersenyum kecil.
            Saat istirahat, Citra melihat Afifah dan teman-temannya keluar kelas. Dia bergegas melaksanakan ide jahatnya. Gue udah gak sabar melihat reaksi Afifah saat dia masuk kelas. Pasti dia akan shock sekali. Hahahaha! Hahahahaha!, kata Citra didalam hati.
******
“Da, lihat buku gue, nggak?” tanya Afifah setelah dia kaget buku kesukaannya hilang.
“Memangnya kenapa, Fah? Buku lo hilang?” tanya Rashida sambil menghampiri meja Afifah.
“Iya, tiba-tiba aja hilang begitu saja,” jawab Afifah. Wajahnya seperti mau menangis.
“Ya Allah, Fah. Sabar, ya. Nanti gue bantu cari,” kata Rashida.
“Gue juga mau ikut cari,” kata Della yang juga ikut mendengar, “by the way, tadi lo taruh di mana buku lo? Tadikan gue udah balikin ke lo.”
“Gue tahu lo udah balikin, tapi tiba-tiba saja hilang,” keluh Afifah, “padahal ada di dalam tas sebelum kita ke kantin.”
“Ya udah, kalau gitu ayo kita cari bareng,” kata Siti, lalu semuanya bergegas mencari buku Afifah, kecuali Citra yang tersenyum sinis karena ide nakalnya berhasil. Gue tahu, pasti lo akan menangis terus setelah lo pulang, batin Citra. Lalu, bel masuk berbunyi, waktunya untuk dua pelajaran terakhir sebelum pulang.
******
            Pulang sekolah, Citra menaiki angkot tanpa orang-orang disampingnya. Dia juga membeli plastik kecil berisi kentang goreng BBQ kesukaannya untuk makan saat perjalanan pulang.
            Setelah angkot sampai ke tempat tinggalnya, Citra melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Namun ketika dia sudah dekat rumah, dia kaget. Plastik kentang goreng yang dia pegang jatuh ke jalan. Banyak mobil polisi berkumpul di depan rumahnya. Dia juga semakin kaget melihat papanya diborgol oleh polisi-polisi tersebut. Mama Citra yang juga diluar menangis. Kenapa, ya?
            “Papa!” seru Citra, “papa, ada apa ini? Mau apa kalian dengan papa saya?”
            Papa Citra memandang Citra dengan wajah sedih. Matanya berkaca-kaca. “Citra, maafkan papa, nak.”
            “Maaf? Maaf buat apa, pa? Kenapa polisi-polisi ini memborgol papa?” isak Citra.
            “Papa kamu ini kami tangkap karena semua tindakkan kejahatannya,” kata seorang polisi dengan nada marah, “sekarang permisi. Kami harus membawa penjahat ini ke kantor polisi, SEKARANG.”
            Citra merasa tidak percaya. Dia terus memegang tangan papanya, tapi polisi itu terus menarik papa ke mobil polisi.
            “TIDAAAK!” teriak Citra, “jangan bawa papa saya ke penjara! PAPAAA!”
******
            Citra menangis seharian di kamarnya. Dia sama sekali tidak tahu apa yang selama ini papanya lakukan kepadanya. Kenapa tiba-tiba saja papanya ditangkap polisi? Dan kenapa tiba-tiba saja papa minta maaf kepada Citra?
            “Ma, kenapa papa tiba-tiba saja ditangkap polisi, ma? Apa yang selama ini papa lakukan kepada Citra?” tangis Citra sambil menutup wajahnya.
            Mama Citra yang sedang mengelus punggungnya pun  menghela napas. Lalu dia bercerita tentang papa kepada Citra. “Cit, maafkan papa selama ini ke kamu. Sebenarnya, papa telah melakukan banyak penipuan di berbagai tempat.”
            “Penipuan?” Citra menghapus air matanya.
            “Iya, penipuan. Dia selama ini memberikan apa yang kamu mau karena itu,” kata mama Citra dengan mata berkaca-kaca.
            Citra kaget lagi, “j, jadi selama ini, p, papa banyak menipu supaya kita jadi kaya?”
            Mama Citra mengangguk. Lalu, terbayang semua masalah yang pernah dibuat Citra ke teman-teman. Dia merasa malu, sedih, dan menyesal karena sombong, dan sekarang dia tahu, kalau papanya banyak menipu supaya kaya.
            “Sekarang kamu sudah tahukan, nak?” tanya mama sambil terus mengelus punggung Citra yang masih menangis.
            “Iya, sekarang Citra tahu,” kata Citra, lalu dia memeluk mamanya, “mama, maafin Citra juga ya, ma. Citra juga udah banyak salah. Citra udah sombong sama teman-teman, sekarang Citra menyesal seperti papa, ma...”
            Mama Citra yang juga tahu Citra selama ini sombong pun tersenyum, “kamu nggak usah nangis lagi, Cit. Mama udah maafin kamu, kok. Cuma kamu harus minta maaf juga sama teman-teman.”
            Citra mengangguk. Tapi dia tidak berani masuk sekolah. Dia takut teman-temannya pasti tidak mau memaafkannya.
            Keesokan harinya, mama Citra terus-terusan mengetuk pintu kamar Citra.
            “Cit, ayo sarapan nak. Kamu harus sekolah!” kata mama Citra.
            “NGGAK!” teriak Citra, “Citra nggak mau sekolah. Citra takut!”
            “Citra!” seru mama, “kamu tidak boleh bertingkah seperti anak kecil. Ayo keluar, nak!”
            “POKOKNYA AKU TIDAK MAU!” Citra berteriak lebih keras. Mama Citra pun lelah mengajak Citra keluar. Beliau pun bergegas pergi sarapan tanpa Citra.
******
            Siang itu, Citra masih saja berdiam diri di kamar, namun mamanya mengetuk pintu kamarnya lagi.
            “Citra, ayo keluar dulu, nak,” kata mama Citra.
            “Memangnya mama masih mau Citra sekolah?” Citra masih tidak mau keluar, “kan Citra udah bilang...”
            “Mama tahu kamu nggak mau sekolah, tapi ada teman-teman kamu, sayang.”
            Citra tertegun. Kenapa teman-teman tiba-tiba saja mengujungi rumahnya? Padahal tidak ada yang mau ke rumahnya karena Citra sombong.
            “Ayo, sayang. Keluarlah. Teman-teman kamu sudah menunggu,” kata mama, “mereka tidak akan mengejek kamu, kok.”
            Dengan perasaan tegang, Citra membuka pintu kamar perlahan-lahan. Ternyata ada Afifah, Della, Siti, dan Rashida.
            “Kalian sedang apa di sini?” tanya Citra.
            Afifah lalu maju dan menepuk pundak Citra, “kami sudah mendengar kabar tentang bokap lo. Jadi kami ingin menjenguk lo.”
            “Hah?” Citra merasa tidak percaya, “k, kalian tahu dari siapa bokap gue ditangkap?”
            Afifah, Della, Siti, dan Rashida menunjuk ke arah mama Citra. Citra semakin saja tidak percaya.
            “M, mama?” tanya Citra.
            Mama mengangguk, “tadi mama sudah datang ke sekolah kalau kamu tidak mau sekolah karena kabar kemarin. Makanya banyak yang kasihan sama kamu, terutama mereka berempat. Jadi mama bawa mereka kesini.”
            Citra pun memandang keempat temannya yang tersenyum kepadanya. Apakah mereka akan memaafkan semua kesalahanku? Tanyanya dalam hati, palingan aku coba minta maaf, deh. Tapi kalau mereka tidak mau memaafkanku, ya sudah.
     Citra kemudian mengambil buku kesukaan Afifah yang ternyata dia ambil kemarin lalu menyerahkankannya kepada Afifah. Semuanya kaget.
            “Jadi, lo yang mengambil buku kesukaan gue, Cit?” tanya Afifah.
            Citra mengangguk lalu berkata kepada teman-temannya, terutama Afifah. “Guys, maafkan gue, ya. Gue udah sombong, nggak tahu diri, terus gue juga sering memamerkan kekayaan gue ke kalian. Sekarang setelah bokap gue masuk penjara karena menipu, gue udah insyaf. Maafkan gue sekali lagi.”
            Afifah lalu mengambil bukunya kemudian merangkul tubuh Citra, diikuti Della, Siti, dan Rashida. Mereka sama sekali tidak marah kepada Citra. “Sudahlah, Cit. Lo nggak usah sedih melulu. Lagipula kami sudah memaafkan lo, kok,” kata Rashida.
            Mulut Citra menyanga lebar, “b, benarkah?”
            “Iya, Cit. Kami sudah memaafkan, lo. Cuma lo harus janji untuk jangan sombong lagi, ok?” kata Della.
            Citra mengangguk, “ok, gue janji. Mulai sekarang gue tidak akan sombong lagi.”
            Lalu, Citra dan teman-temannya berpelukan. Akhirnya, Citra berubah menjadi anak yang baik dan tidak sombong di sekolahnya.
******
           
           

           




Tanda Kasih Untuk Bu Qelya

TANDA KASIH UNTUK BU QELYA

            Saat itu, kelas 8 C sedang ramai sekali. Banyak murid bersendagurau di dalam kelas sebelum pelajaran dimulai. Wina sedang mengobrol dan tertawa bersama keempat sahabatnya, tiba-tiba....
            “Guys, gue dapat berita buruk!” seru Fino sambil terengah-engah.
            “Aduh, Fino. Lo jangan bikin kaget gitu, dong!” gerutu Bella, sahabat Wina yang manja, “jantungan nih gue!”
            “Lagian ada apa sih, Fin? Berita buruk apa?” tanya Wina.
            Fino menghela napas, “Bu Qelya tidak masuk hari ini. Dia sakit!”
            Cihuy!!,” sahut Aida,berarti kita tidak belajar Bahasa Indonesia dong pagi ini.”
            “Hush, guru sakit koq lo malah senang sih, Da?,” Wina melototkan matanya ke Aida,Bu Qelya sakit apa, Fin?”
            “Tadi sih yang gue dengar dari guru piket, Bu Qelya sakit kanker.”
            Sebagian murid yang mendengar, terkejut. Kata “kanker” membuat mereka semua merasa khawatir. Tidak ada yang menyangka Bu Qelya, guru  yang juga wali kelas mereka terserang kanker. Bu Qelya adalah guru yang rajin. Beliau jarang tidak masuk dan selalu menyediakan waktunya untuk murid-murid yang ingin berkonsultasi atau bertanya.
            “Fin, lo udah tanya nggak Bu Qelya sakit kanker apa?”, tanya Johan. Dia merasa sedih karena ada adiknya yang pernah mengidap kanker, namun tidak bisa terselamatkan.
            “Wah gue gak nanya. Tapi gue tanya dimana Bu Qelya dirawat. Kita mau menjenguk beliau, khan?,” kata Fino.
            “Ya kita harus jenguk dong. Beliau khan wali kelas kita,” jawab Bela.
            “Trus, kita mau bawa apa waktu menjenguk Bu Qelya ?,” kata Wina,  “gue sih terpikir bagaimana Bu Qelya membiayai pengobatannya? Pasti mahal sekali
            Semuanya tertegun mengingat betapa sederhananya Bu Qeyla. Apakah beliau sanggup membiayai pengobatan penyakitnya? Mereka sangat ingin membantu wali kelas mereka tersebut. Mereka ingin Bu Qeyla sembuh dan dapat mengajar mereka kembali.
            “Galang dana!” jawab Wina, “kita bisa menggalang dana untuk membantu biaya pengobatan penyakit Bu Qelya.”
            “Tapi bagaimana cara kita mendapat uang?. Uang saku gue aja pas-pasan” tanya Rian, seksi keamanan di kelas itu.
            “Iya gue juga begitu. Itu berarti kita harus bekerja atau menjual sesuatu untuk mendapatkan uang,” kata Wina.
“Jualan apa?,” tanya Rian lagi. “Jualan di mana? Kapan kita mau jualan?”
            Kelas pun menjadi ramai karena setiap anak memberi ide untuk mendapatkan uang untuk disumbangkan kepada Bu Qelya. Ada yang ingin membuat minuman, gambar, makanan, perhiasan, melakukan sulap, dan lain-lain.
            Lalu Bella mendiamkan teman-temannya, “Kalian kalo mau kasih ide jangan berisik dong. Coba dengar ide gue nih! Bagaimana kalo kita bikin saja kerajinan tangan dari barang-barang yang sudah tidak kita pakai!. Kita tidak keluar banyak uang untuk modal. “
            “That’s a great idea! Tapi bagaimana bikin kerajinan tangannya? Apa kita bisa?tanyaJohan.
            “Gue juga setuju dengan Bella,” kata Umairah.
 Ingat tidak kerajinan tangan yang pernah diajarkan oleh Pak Reno? Kita bisa membuat itu. Kita bisa tanya Pak Reno juga untuk mengajarkan yang lain,” Bella lalu mengingatkan teman-temannya tentang pigura, tempat pensil dan tempat tissu yang pernah mereka buat dari kertas koran.
Kelas pun kembali ribut dengan ide-ide membuat kerajinan tangan dari barang bekas lainnya.
“Wah, keren nih… Barang-barangnya nanti bisa kita jual pada saat bazar sekolah minggu depan,” kata Bella, “bagaimana, Win? Boleh nggak kita berjualan di bazar?” Wina sebagai ketua kelas mengetuk-ketukkan pulpennya ke meja. Itu berarti dia sedang berpikir keras.
            “Pleeeease!” murid-murid lainnya memohon.
            Wina pun menghela napas, “Oke, kita buka stan 8 C di bazar nanti!”
            “Tapi apa saja yang akan kita jual dan berapa banyak? Siapa yang membuat apa? Bazar tinggal satu minggu lagi” tanya Fino.
            “Well, semuanya bisa bikin karya masing-masing di rumah. Bisa kalian kerjakan sendiri atau berkelompok. Hasilnya kita kumpul di garasi rumah gue Sabtu ini.  Sekalian kita taruh harga di barang-barang, dan bagi tugas siapa yang akan berjualan di stan. Bagaimana? Setuju? Hari ini gue akan daftarkan kelas kita ke panitia bazar. Kita pakai uang kas kelas dulu
            “SETUJU!” seru yang lainnya.
            “Guys, sorry banget gue nggak bisa ikut bantu kalian,” Aida yang sedari tadi diam tiba-tiba memecah keriaan mereka. Semua mata sontak melihat ke arahnya. Mereka tidak menyangka Aida tidak ingin ikut kegiatan mereka yang tujuannya membantu Bu Qeyla.
            “Lho, kenapa? Kalo lo gak mau ikut bikin kerajinan, apa lo mau menyumbang uang?” tanya Johan.
            “Seminggu ini gue ada kegiatan. Gue gak punya banyak waktu buat bikin kerajinan tangan. Gue juga gak punya banyak uang, sama dengan kalian. Sementara ini kalian aja yang bantuin Bu Qelya,” ujar Aida. Dia sama sekali tidak berminat menyumbang untuk Bu Qelya. Aida masih sakit hati karena Bu Qelya memberinya nilai enam untuk ulangan tengah semester. Padahal Aida sudah mengorbankan waktunya untuk belajar, dan ia juga merasa sudah belajar dengan tekun. Semua mata pelajar mendapatkan nilai rata-rata delapan, tapi hanya Bu Qelya yang memberinya nilai enam.
            “Yah, Aida. Lo ini gimana, sih?” keluh Wina, “kitakan mesti bantuin Bu Qelya. Kasihan beliau.”
            Aida tidak menjawab. Dia langsung berdiri dan meninggalkan kelas. Semua teman memandang Wina dengan tatapan heran. Wina pun hanya melongo. Dia sama bingungnya dengan yang lain.
            Bel pelajaran kedua berbunyi. Wina, Bella, Rian dan yang lain bergegas kembali ke meja mereka masing-masing. Mereka terusik dengan perilaku Aida, tapi mereka memutuskan untuk lebih berkonsentrasi dengan apa yang akan mereka siapkan untuk bazar nanti.
            Selanjutnya, selama seminggu Wina dan teman-temannya sibuk membuat kerajinan tangan mereka. Ada yang membuat tas dari plastik detergen, lentera dari kaleng bekas dan botol bekas, tempat pulpen dari stik es krim, pigura dan gantungan kunci dari koran bekas, dan lain-lain. Mereka bertanya dan mendapat penjelasan dari Pak Reno. Mereka sangat antusias mengerjakan kerajinan tangan masing-masing. Sementara itu, mereka juga secara bergantian datang menjenguk Bu Qelya di rumah sakit.
            Bu Qelya ternyata mengidap kanker hati, begitu saja yang dikatakan Bu Qelya. Semuanya merasa sedih, apalagi Bu Qeyla tampak kurus dan pucat. Tapi dia selalu tersenyum saat murid-muridnya datang menjenguk. Dia selalu mengingatkan agar mereka rajin belajar dan tidak lupa mengerjakan tugas.
******
            Hari Sabtu, Wina dan teman-temannya berkumpul di garasi rumah Wina. Ayahnya sengaja mengeluarkan mobil dari garasi agar mereka bisa menaruh barang-barang dan membicarakan persiapan stan mereka. Banyak sekali kerajinan yang dibuat oleh mereka, dan semua bagus-bagus.
            Wina menugaskan teman-temannya untuk menghitung jumlah kerajinan, lalu mereka menentukan berapa harga tiap kerajinan. Mereka semua sibuk bekerja. Ibu Wina menyiapkan minuman dan makanan kecil. Tapi mereka tidak merasa lapar dan haus. Mereka sangat antusias menyiapkan barang jualan karena mereka berharap bisa menjual semua.
            Keesokan harinya, bazar di sekolah. Kelas 8C mendapatkan stan di dekat pintu masuk sekolah. Hanya Wina, Bella, Fino dan lima orang lainnya bertugas di stan secara bergantian. Wina memang tidak meminta semua murid kelas 8C bertugas tapi dia meminta mereka untuk mengajak orang tua dan teman-teman mereka untuk datang. Di depan stan, mereka memasang papan bertuliskan “Hasil penjualan akan disumbangkan kepada Bu Qelya.” Dengan begitu mereka berharap banyak orang yang akan membeli barang jualan mereka.
             Bazar berlangsung dari pukul 10 pagi sampai dengan 4 sore. Stan kelas 8C tidak pernah sepi, dan barang-barang  mereka hampir habis terjual. Banyak pengunjung bazar yang mengenal Bu Qelya. Mereka sangat prihatin dengan penyakit Bu Qelya, dan ingin juga membantu menyumbang.
Saat mereka tengah beristirahat, Fino melihat Aida bersama orang tua dan kakaknya. “Guys, lihat itu Aida. Katanya dia sibuk, tapi bisa tuh datang.”
“Oh iya, kakaknya Aida khan nanti akan menyanyi di panggung,” sahut Johan, pasti orang tuanya mau menonton. Aida pasti dipaksa untuk ikut. Lihat tuh mukanya merengut begitu.” Yang lain langsung menengok ke arah Aida dan memperhatikan secara seksama wajah Aida. Tidak mereka duga, Aida melihat ke arah mereka.
            “Hey Aida, mampir ke sini!” panggil Wina. Tapi Aida membuang wajahnya.  
            “Ih judes banget! Dia punya masalah apa sih sampai tidak mau bantu kita?,” kata Bella.
            “Sudahlah kalo dia tidak mau bantu,” kata Umairah, tidak usah dimasukkan ke hati. Mungkin dia sedang punya masalah.”
            Tiba-tiba Rian menyenggol tangan mereka.”Guyssss…. Orang tua Aida ke sini tuh.” Mereka pun terdiam. Ayah dan ibu Aida sedang berjalan menuju stan mereka. Serempak mereka kemudian memberi salam.
            “Selamat siang om dan tante.”
            Ayah dan ibu Aida menegur mereka kembali. “Lho koq Aida tidak memberi tahu tante kalo kalian membuka stan?,” tanya ayah Aida, “Aida mana?.”
            Fino menyenggol tangan Wina. Dia tidak tahu harus menjawab apa kepada ayah Aida. “Hmmm mungkin Aida lupa, om,” jawab Wina. Dia tidak mau cari masalah dengan Aida.
            “Aida!,” ibu Aida memanggil Aida yang berdiri jauh dari stan. Dia menengok dan wajahnya langsung pucat. Aida berjalan pelan-pelan ke arah orang tuanya.
            “Yang mana kerajinan kamu, Aida?,” tanya ibu Aida kepadanya. Aida menatap teman-temannya. Tapi teman-temannya tidak ada yang mau menatapnya kembali.
            “Hmmm…aku tidak bikin kerajinan, bu,” kata Aida sambil menunduk.
            “Kenapa tidak? Kamu khan sedang tidak banyak kegiatan,” kata ayah Aida lagi. Aida makin menunduk. Dia takut ayahnya marah kalo tahu dia tidak membantu teman-temannya menggalang dana buat Bu Qelya.
            HP Wina tiba-tiba berbunyi. Rupanya Pak Yusuf, guru Agama Islam menelpon.
            “Assalamualaikum, pak” kata Wina.
            “Waalaikumsalam. Bapak hanya ingin memberitahu kalau Bu Qelya masuk ICU
            Wina kaget, “Astagfirullah al-adzim..... kapan beliau masuk ICU, pak?tanya Wina.
            “Beliau masuk ICU sejak tadi malam,” jawab Pak Yusuf, “ karena penyakitnya bertambah parah.”
            “Terima kasih sudah memberitahu, pak. Saya akan kasih tahu teman-teman. Assalamualaikum.” Wina menutup hpnya. Yang lain memandangnya, menunggu apa yang dikatakan Pak Yusuf kepadanya.
            “Ada apa Win? Siapa yang menelpon?” tanya Umairah.
            Wina menghela napas, “itu tadi Pak Yusuf. Beliau memberitahu gue kalau....,” Wina menghela napas lagi untuk menahan tangisnya, “Bu Qelya masuk ICU sejak tadi malam.”
            Semua yang mendengar kaget, termasuk Aida. Saat itu Aida merasa sangat bersalah terhadap Bu Qelya.
Ternyata penyakit Bu Qelya sangat gawat. Apakah beliau akan sembuh? Mata Aida berkaca-kaca.
            “Kenapa beliau bisa masuk ICU, Win?” tanya Fino.
            “Penyakitnya bertambah parah, teman-teman,” jawab Wina sedih.
            “Apakah beliau akan sembuh?,” tanya Bella, “ICU khan ruang perawatan untuk mereka yang penyakitnya sudah parah. Aku ingat kakekku masuk ICU, dan beliau tidak bisa diselamatkan
            Murid-murid lain ikut sedih. Mereka khawatir Bu Qelya tidak akan sembuh. Mereka ingin sekali menjenguk Bu Qelya di ICU, tapi bagaimana dengan stan mereka?
            “Berapa lagi barang kalian yang belum terjual?,” ayah Aida bertanya. Dia menyuruh Fino menghitung semua barang yang tersisa.
“Berapa semuanya?,” tanya ayah Aida lagi. Johan mengeluarkan kalkulator dan menghitung total harga barang. “Saya beli semua barang kalian,ayah Aida mengeluarkan dompetnya.
            Wina dan teman-teman tertegun, lalu mereka bersorak. Aida mememluk ayahnya. “Terima kasih ayah,” bisiknya. Ayah Aida tersenyum,ayo bantu Om angkat barang ke mobil.” Fino dan Rian bergegas menaruh barang-barang ke kantong plastik, dan menemani ayah Aida ke tempat parkir.
            “Terima kasih Aida,” kata Wina menghampiri Aida.
“Tapi gue nggak bantu kalian,” jawab Aida,gue kesal sama Bu Qelya, tapi gue gak nyangka bahwa penyakit Bu Qelya sangat parah. Sekarang gue menyesal tidak berbuat apa-apa untuk membantu beliau.” Aida meneteskan air mata.
            “Gak apa, Aida. Ayah lo khan sudah memberi dana yang banyak buat kita. Kalo lo mau, karena barang-barang kita sudah habis, setelah membereskan stan, kita pergi menjenguk bu Qelya,” ajak Wina. Dia merasa kasihan terhadap Aida.
            Setelah mereka menghitung uang yang terkumpul, dan membereskan stan, Wina mengajak teman-temannya untuk pergi ke rumah sakit. Jumlah uang yang terkumpul di luar perkiraan mereka, karena ada yang membeli tapi menyumbangkan uang kembaliannya untuk disumbangkan. Mereka berharap uang tersebut dapat meringankan biaya perawatan Bu Qelya. Wina juga menelpon teman-teman yang lain mengabarkan kondisi Bu Qelya.  Sebagian berjanji untuk bertemu dengan mereka di rumah sakit, tempat Bu Qelya dirawat.
******
            Sesampainya di rumah sakit, Wina dan teman-temannya bertemu dengan orang tua dan adik Bu Qelya. Mereka memberitahu kondisi terakhir Bu Qelya. Lalu secara bergantian mereka masuk menjenguk Bu Qelya karena tidak semua orang bisa masuk ke ICU.
            Ditemani oleh adik Bu Qelya, Wina masuk ke kamar rawat bersama Umairah, Fino dan Aida.   “Assalamualaikum,” salam mereka.
            “Waalaikumsalam,” jawab Bu Qelya lemah. Tapi Bu Qeyla tetap menunjukkan senyumnya.  “Apa kabar Wina, Umairah, Fino, Aida?.”
            “Alhamdullillah baik bu,” jawab Fino. Aida memegang tangan Wina. Dia tidak mampu berkata-kata. Wajah Bu Qelya sangat pucat. Di tangannya terpasang selang infus dan obat. Di meja samping tempat tidur, ada obat, botol air minum, gelas dan kue yang tidak termakan. Hanya ada satu tempat duduk di dekat tempat tidur. Umairah, Fino dan Aida berbagi tempat duduk, sementara Wina duduk di dekat kaki Bu Qelya. Dia langsung memijit kaki Bu Qelya. Adik Bu Qelya mengambil tisu dan menghapus air mata yang menetes di pipi Bu Qelya.
            “Bu Qelya senang sekali setiap kali murid-muridnya datang menjenguk. Dia ingin sekali kembali berkumpul dan mengajar kalian,” kata adik Bu Qeyla, Bu Irma,dia ingin menemani kalian pergi outing, pesantren Ramadhan, studi lapangan dan melihat kalian lulus SMP.”
            Mendengar itu, Aida menyembunyikan wajahnya dibalik punggung Wina. Diam-diam dia mengusap air matanya.
            “Kami akan tunggu ibu di sekolah,” kata Umairah,makanya ibu harus sembuh. Kami selalu mendoakan agar ibu kembali sehat.” Dia sendiri menahan kesedihannya. Tapi dia tidak mau Bu Qelya melihatnya bersedih.
            “Ibu,” lanjut Wina, “tadi pagi di sekolah ada bazar, dan kami membuka stan hasil kerajinan tangan kami. Ini hasil penjualan tersebut. Kami berikan ini untuk ibu agar ibu lebih bersemangat untuk sembuh.” Wina memberikan amplop uang hasil penjualan ke tangan Bu Qelya.
            Bu Qelya kembali menangis. Dengan terbata-bata, ia mensyukuri pemberian murid-muridnya. “Ya Allah,  Alhamdullillah. Terima kasih anak-anakku tersayang! Ibu tidak menyangka kalian sangat perhatian pada Ibu.”
            “Wah perhatian dong bu… Kalo tidak, nanti siapa yang memarahi saya kalo nilai ulangan saya jelek?,” Fino berusaha membuat Bu Qelya terhibur.
            Lalu, Aida memegang tangan Bu Qelya. “Bu,” mata Aida berair. Dia pun menangis, “ibu maafin Aida, bu. Aida sudah berprasangka buruk pada ibu. Aida sekarang tidak kesal lagi sekalipun  ibu tidak memberikan nilai yang bagus kepada Aida!”
            Bu Qelya tersenyum dan mengusap kepala Aida. “Ibu juga minta maaf karena tidak memberikan nilai bagus. Tapi jawaban ulangan Aida memang banyak salah. Aida pintar untuk pelajaran lain. Tapi Aida kurang teliti waktu mengerjakan ulangan pelajaran ibu.”
            “Iya bu,” kata Aida. Dia sangat terharu karena Bu Qelya juga meminta maaf. Padahal dia lah yang bersalah karena tidak mengerjakan ulangan dengan baik.  Aida berjanji dalam hati bahwa ia akan belajar lebih giat lagi.
            “Ibu juga minta maaf kepada Wina, Bella dan teman-teman kalian yang lain kalo ibu selama ini suka memarahi kalian. Itu ibu lakukan justru karena ibu sayang kepada kalian. Ibu ingin anak-anak ibu menjadi anak-anak yang pandai, memiliki iman yang kuat dan peduli terhadap sesama,” Bu Qelya menghela nafasnya. Banyak berbicara membuat dirinya capai. Tapi kehadiran Wina dan teman-temannya membuatnya bangga karena dia berhasil membuat mereka menjadi anak-anak yang mampu mewujudkan ide mereka dan saling membantu. Bu Qelya berharap bisa berkumpul bersama mereka lagi, karena hanya Allah yang bisa merubah takdirnya.
******
            Beberapa hari setelah kunjungan Wina dan teman-temannya, Bu Zahra, guru IPS mengumpulkan murid  kelas 8C di kelas mereka. Mukanya murung, dan ia membawa sepucuk surat.
            Setelah menyapa mereka, Bu Zahra berkata,” Anak-anak, ibu membawa surat dari dari Bu Qelya untuk kalian. Ibu minta Wina untuk membacakannya. Tapi sebelumnya, ibu mohon kalian tenang,” Bu Zahra lalu memberikan surat itu kepada Wina.
            Wina kemudian berdiri di depan kelas, dan mulai membaca surat Bu Qelya.
            Assalamu’alaikum anak-anakku,
            Apa kabar kalian semua? Ibu harap kalian dalam keadaan sehat. Jika kalian membaca ini, ibu ingin kalian semua ikhlas.
            Sejak kecil, ibu bercita-cita ingin menjadi guru. Ibu ingin mencerdaskan anak-anak untuk bisa menjadi pemimpin dan penerus bangsa. Ibu senang saat melihat anak-anak didik ibu mampu menyerap ilmu yang diberikan di sekolah, lalu meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ibu bahagia bila anak-anak ibu selain pintar juga berakhlak dan berbudi mulia. Karenanya, ibu ingin kalian menjadi anak-anak yang nantinya bisa membuat ibu senang dan bahagia. Janji ya?
            Penyakit ibu bukanlah penyakit yang mudah disembuhkan. Beberapa hari setelah kalian datang menjenguk ibu, kondisi ibu semakin melemah. Padahal ibu sudah menjalani semua pengobatan. Tapi ibu tidak kunjung sembuh. Ibu sudah lelah hanya berbaring di rumah sakit, dan ibu minta pulang ke rumah keluarga ibu di Padang. Ibu ingin berada dekat dengan mereka. Lagipula dengan kondisi ini, ibu tidak bisa lagi mengajar. Maafkan ibu karena tidak bisa mampir ke sekolah untuk berpamitan dengan kalian.
            Terima kasih banyak atas tanda kasih yang kalian berikan ke ibu. Kalian sangat memedulikan ibu. Padahal ibu belum berbuat banyak untuk kalian. Ibu mohon maaf bila ibu memiliki salah kepada kalian. Pesan ibu, teruslah belajar dengan rajin untuk bisa menggapai cita-cita kalian. Ibu jamin kalian pasti bisa melakukannya. Doa ibu menyertai kalian.
Wassalam,
Bu Qelya
            “Anak-anak,” kata Bu Zahra, “surat ini ditulis Bu Qelya tiga hari yang lalu, namun Ibu baru menerima surat ini kemarin. Adik Bu Qelya sibuk mengurus kepulangan Bu Qelya sehingga lupa menyampaikannya ke Ibu.” Ia menyuruh Wina kembali duduk. Dengan perlahan, ia melanjutkan perkataanya,sebelum ibu menemui kalian, Kepala Sekolah baru saja menerima telepon dari keluarga Bu Qelya. Mereka mengabarkan bahwa beliau sudah meninggalkan kita.”
             Kelas menjadi gaduh. Wina dan teman-temannya saling berpelukan dan menangis. Mereka tidak percaya bahwa Bu Qelya, guru tersayang mereka sudah tiada. Mereka sangat menginginkan beliau sembuh dan bisa mengajar mereka kembali. Tiap pagi sebelum kelas dimulai, mereka selalu mengirimkan doa untuk Bu Qelya. Mereka berjanji akan selalu belajar untuk menggapai cita-cita mereka demi Bu Qelya.
******