Senin, 15 Februari 2016

BB Pembawa Sengsara

BB Pembawa Sengsara

          Aisha adalah anak baik dan berprestasi di sekolahnya. Dia pandai berbahasa Inggris dan menyanyi. Dia mempunyai banyak piala dan penghargaan karena bakat yang dia punya itu. Cita-citanya adalah menjadi penyanyi terkenal.
          Sayangnya walaupun dia berprestasi, teman-temannya tidak ada yang mau mendekati Aisha. Padahal dia selalu mengajak teman-temannya berbicara dan bermain bersama. Namun mereka selalu menjauh, atau diam saja kalo ditanya. Aisha tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk berteman dengan mereka. Itu membuat Aisha kesal sekali. Seperti siang ini sepulang sekolah.
          “SEBEL!” teriak Aisha sambil membanting pintu kamar.
          “Masya Allah, Sha. Kamu kenapa?” tanya Rita, kakaknya
          “Aku dibenci teman-teman, kak!” jawab Aisha sambil kesal, “sudah habis kesabaranku, kak! Mereka tidak mau berteman dengan aku! Padahal aku tidak pernah berbuat jahat ke mereka!”
          Rita mengelus pundak adiknya. “Kakak ngerti kenapa kamu kesel. Tapi kamu harus sabar. Anggap saja ini adalah cobaan. Kamu juga harus memaafkan teman-teman kamu. Allah saja mengampuni dosa-dosa umatnya. Harusnya kamu juga seperti itu.”
          “Aku bukan Tuhan, kak. Masa orang-orang jahat kayak mereka dimaafin? Ih, no way! Mereka bukan teman-temanku lagi! Mereka MUSUH, tahu nggak?” Aisha masih saja kesal.
          Belum sempat Rita menasehati adiknya lagi, mereka dipanggil ibu untuk makan siang di lantai bawah.
          Di meja makan, Aisha masih saja cemberut ketika makan. Ibu Aisha pun menjadi heran.
          “Sha, kamu kenapa, nak? Kok cemberut begitu?” tanya ibu. Aisha diam saja. Rita pun menjelaskan kepada ibu mengenai kondisi adiknya.
          “Astagfirullah al-adzim. Tega sekali teman-temanmu,” kata ibu, “kamu yang sabar ya, nak. Kamu berdoa saja sama Allah supaya mereka nggak benci lagi sama kamu. Kamu juga harus memaafkan mereka, ya.”
          Mendengar perkataan ibu, Aisha langsung memukul meja makan. Rita dan ibu kaget. “Ibu sama saja kayak Kak Rita! Aku kan sudah bilang, mereka bukan teman-teman ku lagi, mereka MUSUH! Jadi jangan harap aku bisa memaafkan mereka!” Aisha mengambil piringnya lalu makan di kamar.
******
          Keesokan harinya...
          “Sha, kok kamu masih pake baju rumah? Kamu gak pergi sekolah?” tanya Rita.
         “Aku nggak mau sekolah,” jawab Aisha sambil membolak-balikkan halaman majalah.
          “Lho, kenapa? Masih kesel sama teman-teman?” tanya Rita.
          “Iya,” jawab Aisha, “pasti mereka senang kalau aku tidak ada di kelas.”
       "Ya Allah, Sha. Kamu nggak boleh bilang kayak gitu,” kata Rita, “kamu kan juga harus sekolah, Sha.”
          “Kalau begitu aku ingin pindah sekolah dengan teman-teman yang BAIK sama aku,” kata Aisha, “sekarang kakak berangkat sendiri saja deh. Aku mau belajar di rumah saja.”
          Setelah Rita pergi ke sekolah, Aisha mengambil buku-buku pelajarannya. Dia merasa lebih tenang tapi dia kehilangan suasana belajar di kelas.
          Siangnya saat Rita pulang, dia langsung ke kamar Aisha. Dia lalu mengeluarkan sebuah telepon genggamnya.
          “Ada apa, kak?” tanya Aisha.
          “Dengarkan saja. Nanti kamu juga tahu,” kata Rita. Dia lalu menyetel telepon genggamnya ke pengeras suara.
          “Halo, Sha. Ini Rachel, Dona, dan Dina. Kamu pasti kaget dengar suara kita. Kak Rita tadi datang ke kelas dan berbicara dengan kami tentang kamu. Kami tahu kamu baik banget sama kita. Kami tidak bermaksud jahat kepada kamu. Tapi ada satu hal yang membuat kami tidak mau berdekatan denganmu. Tapi kamu jangan marah, ya kalau kita kasih tahu. Kamu itu punya bau badan. Kami tidak tahan dengan bau badan kamu. Maafkan kami, ya.
          Mulut Aisha terbuka lebar. “Sekarang kamu tahu, kan kenapa mereka menjauhi kamu?” kata Rita, “ibu kan sudah sering marah. Kamu mandi cuma sebentar. Kamu mandi tidak pernah bersih. Kakak juga sering kok membaui kamu.”
          Aisha membaui dirinya. Tidak bau koq. Tapi dia sadar bahwa dia memang malas mandi berlama-lama. Dia memang tidak menggosok badannya dengan sabun scara benar. Dia juga malas. Memakai deodoran sekali pun ibu berulang-ulang memperingatinya.
          “Makanya kalau mandi, yang bersih. Kalau nggak bersih, akibatnya dijauhin kan sama teman-teman?” kata Rita lagi.
          “Iya kak,” keluh Aisha, “aku pikir mereka tidak senang sama aku. Ternyata karena aku punya bau badan.”
          Rita mengelus punggung adiknya. “Udah, kamu nggak usah sedih. Mulai sekarang, kamu mandinya yang bersih supaya kamu nggak bau lagi, ya. Dan jangan lupa memakai deodoran serta pewangi badan.”
          Aisha mengangguk. “Iya, kak. Aku akan mandi yang bersih. Dan kakak harus memberitahu aku apakah aku masih bau atau tidak.”
******
          Keesokan harinya, Aisha bangun pagi-pagi sekali. Tidak seperti biasa, dia mandi lebih lama. Dia menggosok badannya sampai ia merasa bersih, lalu menggunakan deodoran serta pewangi badan.
          “Aku masih bau badan nggak?” tanya Aisha ke kakaknya.
          Rita lalu mencium badan Aisha. “Nggak, Sha. Badan kamu sudah bersih. Plus, kamu juga harum!” puji Rita.
          “Alhamdulillah! Semoga bau harumku bertahan lama ya kak!” seru Aisha. Lalu dia sarapan bersama keluarganya.
          Di sekolah, Aisha mendekati Rachel, Dona, dan Dina. “Hai, guys. Aku sudah dengar apa yang kalian bilang kemarin ke kakakku. Maafkan aku, ya. Aku sudah berprasangka buruk sama kalian.”
          “Nggak apa-apa, Sha,” kata Rachel, “kita juga minta maaf ke kamu karena sudah menjauhi kamu. Kami tidak sampai hati bilang apa yang sebenarnya.”
          “Iya, Sha. Kita saling memaafkan ya. Mulai sekarang, kita saling jujur supaya tidak terjadi lagi kesalahpahaman,” tambah Dona.
          “Jadi sekarang, aku masih BB gak?,” tanya Aisha
          “Nggak koq, Sha. Sekarang bau kamu wangi semerbak bunga,” kata Dina sambil membentangkan tangannya bak model pengharum badan. “Kita nggak harus tahan napas lagi kalo kamu ada di dekat kita.”
          Aisha mengangguk. “’Makasih, ya guys. Janji ya kalian akan bilang ke aku kalo bau badanku kembali lagi.”
          “Siap!” kata Rachel, Dona, dan Dina bersamaan.

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar