Nihon Daisuki 2: Dainigakki
Nana
Satu minggu berlalu setelah Asuna
tampil. Sekarang kami memasuki hari Rabu, dan pelajaran pertama adalah
pelajaran olahraga. Guru yang mengajari kami olahraga adalah Tetsu sensei.
“Ohayou
gozaimasu,” kata Tetsu sensei.
“Ohayou
gozaimasu,” kata kami semua semangat.
“Hai,
minna-san, sebelum kita olahraga, saya ingin kalian lari keliling lapangan 10
putaran,” kata Tetsu sensei.
Kami semua kaget. 10 putaran? Pasti
itu akan membuat kita semua kecapekan.
“Siap?” tanya Tetsu sensei.
“Siap!” seru kami semua. Lalu Tetsu
sensei meniup peluitnya, tanda kita harus mulai berlari.
Aku dan teman-teman pun mulai berlari.
1 putaran, 2 putaran, 3 putaran, dan seterusnya sampai 10 putaran. Aku pun
sampai ngos-ngosan. Aku belum pernah disuruh lari 10 putaran, karena sebelumnya
di Indonesia, aku dan teman-teman lamaku disuruh lari 3 atau 5 putaran.
Namun, ketika aku mencapai putaran ke
5, aku mendengar suara orang batuk.
“Uhuk, uhuk, uhuk!”
Akupun menengok ke belakang. Ternyata
Asuna!
“Uhuk, uhuk!”
“Asuna-san!” seruku, “doshita no (kamu kenapa)?”
‘Uhuk, uhuk!” Asuna masih batuk,
“Gianna-san...tasukete (tolong)!”
Lalu dia terjatuh. Aku pun menahannya, kemudian aku kaget. Di mulut Asuna, ada
DARAH!
“Sensei,”
aku memanggil Tetsu sensei sambil membawa Asuna, “tasukete!”
“Gianna-san!”
seru Tetsu sensei, “doshita no?”
“Asuna-san!” jawabku, “Asuna-san
sakit!”
Tetsu pun melihat Asuna. Beliau pun
kaget sekali.
“Biar saya bawa Asuna ke UKS. Kamu terus
berlari, Gianna-san!” kata Tetsu sensei.
“Hai!”
kataku. Lalu aku melanjutkan berlari.
Tak lama kemudian, Tetsu sensei
kembali lalu mengumumkan, kalau Asuna langsung dibawa ke rumah sakit, karena
UKS tidak sanggup memeriksanya.
******
Di waktu istirahat, aku dan
teman-teman berkumpul di kelas. Kami sangat mengawatirkan Asuna.
“Kira-kira Asuna sakit apa,
Gianna-san?” tanya Reiko kepadaku.
“Entahlah,” kataku, “tapi tadi aku
melihat darah keluar dari mulutnya.”
“Darah?!” kata Reiko, Nagisa, Daichi,
dan Mitsuo serempak.
“Iya, darah,” kata Gianna, “aku tidak
tahu kenapa dia bisa mengeluarkan darah dari mulutnya.”
“Kalau begitu,” kata Daichi,
“bagaimana kalau kita jenguk dia sepulang sekolah?”
Hening seketika. Lalu kami mengangguk.
******
Sepulang sekolah, aku dan teman-teman
pergi menjenguk Asuna. Tapi kemudian, Daichi melihat BBM dari Ayahnya kalau
Asuna adalah pasien Ayahnya. Jadi kami semua pergi menjenguk Asuna di rumah
sakit Kibe.
Sesampainya di rumah sakit, aku dan
teman-teman menghampiri Ayah Daichi untuk menanyakan keadaan Asuna.
“Otousan (ayah),
bagaimana keadaan Asuna?” tanya Daichi, “apa penyakitnya?”
Ayah Daichi menghela napas. Lalu
beliau berkata, “Asuna terkena Tuberkulosis.”
“TUBERKULOSIS?!” tanyaku dan teman-teman
serempak.
“Iya, Asuna kena Tuberkulosis, dan dia
harus rawat inap karena butuh banyak darah,” kata Ayah Daichi.
Mulut kami semua menganga lebar karena
shock, terutama aku. Karena kemudian
aku teringat wali kelasku yang meninggal karena penyakit itu ketika aku masih
kelas 5.
Di depan ruang rawat Asuna, aku dan
teman-teman melihat seorang wanita menangis dengan seorang pria menghiburnya.
“Konnichiwa,”
kata Nagisa, “apakah kalian orang tua Asuna?”
Wanita itu menengok kami dengan mata
sembap. “Hai,” katanya, “kami orang
tua Asuna.”
“Asuna terkena tuberkulosis,” kata
Nagisa lagi, “apakah kalian sudah tahu?”
Ibu Asuna mengangguk, lalu beliau
berkata, “penyakit Tuberkulosis itu menyerangnya sejak umur Asuna 10 tahun.”
Kami kaget sekali mendengarnya. Mataku
jadi penuh air mata. Begitu pula dengan mata Reiko dan Nagisa. Sementara Daichi
dan Mitsuo hanya sedih. Sejak umur 10 tahun? Sekarang penyakit tersebut menyerang
Asuna lagi. Kami tidak menyangka teman baru kami terserang penyakit parah setelah
mengobrol dan hang out singkat saja.
Lalu kami memasuki ruang rawat Asuna.
Di dalam ada kedua kakak dan ketiga adik Asuna. Mereka mempersilahkan kami
masuk untuk melihat Asuna. Dia sedang terbaring lemah di tempat tidur, dan ketika
melihat kami, dia hanya tersenyum.
Aku dan teman-teman sangat sedih.
Bahkan, Nagisa adalah yang paling sedih diantara kami. Kenapa? Karena Nagisa
dan Asuna mempunyai hobi yang sama; menari. Tapi jenis tari yang berbeda. Aku
juga sedih sekali karena aku dan Asuna memiliki nama hampir sama.
Di apartemen, aku berdoa dengan mata
berair, “ya Allah. Sembuhkan temanku Asuna. Kuatkanlah dia. Aku masih ingin
mengobrol dan melakukan aktivitas bersamanya, ya Allah. Berikan Asuna kesehatan
yang baik. Ampuni dosa-dosanya. Sayangi dia, ya Allah. Rabbanaa aatinaa
fiddunyaa hasanah. Wa fil aa hirotii hasanah. Waqinaa adzaa bannaar. Amin.”
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar