Nihon Daisuki 2: Dainigakki
Yon
Di kelas, guru Seni Budaya, Katsuro sensei memberikan kami sebuah tugas.
“Saya ingin kalian semua dibagi
menjadi 4 kelompok. Kalian harus membuat drama dengan tema sekolah,” kata
Katsuro sensei.
Semuanya
langsung membagi kelompok. Aku memilih satu kelompok dengan teman-temanku,
terutama Asuna. Kami semua saling membicarakan ide untuk drama kami.
“Bagaimana kalau dramanya tentang
anak-anak sedang bermain, tapi salah satu dari mereka curang?” usul Daichi.
“Kalau
itu sudah biasa,” kata Reiko, “bagaimana kalau dramanya tentang teman-teman
berebutan buku?”
“Jangan itu,” kata Nagisa, “bagaimana
kalau dramanya tentang teman-teman yang selalu bergaul bersama, namun salah
satu dari mereka harus pindah ke negara lain?”
“Aduh, kalau yang itu sedih,” kata
Asuna, “bagaimana kalau dramanya tentang anak-anak jail di kelas, lalu
dihukum?”
Aku lalu menepuk tangan satu kali.
“Ide yang bagus, Asuna-san!”
“Iya. Aku suka ide itu,” kata Mitsuo,
“boleh aku jadi naratornya?”
“Oke,” kataku, “yang mau jadi anak
tertindas siapa?” Asuna menunjuk tangan. Aku menulis perannya di kertas.
“Yang mau jadi sensei ?” tanyaku lagi. Nagisa menunjuk tangan.
“Oke, berarti aku, Reiko, dan Daichi
yang jadi anak-anak jailnya, ya,” kataku sebelum menulis peran-peran lainnya.
Saat acara drama dimulai, kelompokku
mendapat giliran ketiga. Kami melakukannya dengan bagus sekali, dan itu membuat
Katsuro sensei bertepuk tangan.
Setelah acara drama selesai, kami
melanjutkan pelajaran sampai selesai.
Saat istirahat kedua tiba, kami
mengobrol kembali dengan Asuna di kantin. Sekarang kami mengobrol soal keluarga
kami.
“Ayahku bekerja sebagai ahli kacamata
(Bahasa Inggris: Optician), dan ibuku
bekerja sebagai tukang kue,” kata Asuna.
“Tukang kue, ya?” kata Mitsuo, “kapan-kapan
bawa kita ke toko kue ibumu, ya.”
Kami semua tertawa. “Kalau Reiko-san,
orang tuamu bekerja sebagai apa?”
“Ayahku bekerja sebagai apoteker, dan
ibuku bekerja sebagai perancang busana,” kata Reiko.
“Sugoi
(hebat)!” puji Asuna, “kalau
Daichi-san?”
“Ayahku bekerja sebagai dokter di
rumah sakit Kibe dekat sekolah ini, dan ibuku bekerja sebagai ekonom,” jawab
Daichi.
“Kalau aku...sebelum aku reuni dengan
ibu kandungku yang bekerja sebagai guru Geografi di sini, aku tinggal bersama
ibu angkat seorang guru musik dan ayah angkat seorang akuntan,” kata Nagisa.
“E
(hah)?” tanya Asuna, “jadi sekarang kamu tinggal bersama siapa?”
Nagisa menghela napas. “Sekarang aku
tinggal bersama ibu kandung, nenek, dan kakek.”
“Bagaimana dengan ayah kandungmu?” tanya
Asuna.
“Ayahku meninggal karena kecelakaan
saat pergi ke rumah sakit untuk menyambut kelahiranku,” jawab Nagisa.
“Oh, kalau begitu, aku turut berduka
cita untuk itu,” kata Asuna, “sekarang, apa pekerjaan orang tuamu, Mitsuo-san?”
“Ayahku bekerja sebagai dosen di
sebuah Institut Teknologi, dan ibuku seorang sekretaris,” kata Mitsuo.
“Kalau Gianna-san?” tanya Asuna
kepadaku.
“Ayahku seorang jurnalis dan ibuku
seorang dosen Bahasa Jepang, dan karena itulah aku belajar Bahasa Jepang sejak
umurku 7 tahun. Sekarang karena mendapat tugas kerja di Jepang, beliau
memberiku hadiah ke Jepang bersamanya karena Bahasa Jepangku sudah bagus sekali,”
kataku.
Asuna tersenyum, “aku turut senang
mendengarnya.”
Lalu aku bertanya, “apakah kamu mau
jadi salah satu dari kami, Asuna-san?”
Mulut Asuna terbuka lebar. “Hai!” katanya girang.
Kemudian Daichi bangkit dari kursinya.
“Oke, karena Asuna setuju untuk menjadi teman kita, ayo, kita bersulang untuk
menerimanya!”
Aku dan teman-teman lalu bersulang
dengan gelas minuman di tangan kami, lalu kami melanjutkan obrolan kami sampai
bel masuk berbunyi.
******