TANDA
KASIH UNTUK BU QELYA
Saat itu, kelas 8 C sedang ramai sekali. Banyak murid bersendagurau di dalam kelas
sebelum pelajaran dimulai. Wina sedang mengobrol dan tertawa bersama keempat
sahabatnya, tiba-tiba....
“Guys,
gue dapat berita buruk!” seru Fino sambil terengah-engah.
“Aduh, Fino. Lo jangan bikin kaget gitu, dong!” gerutu Bella,
sahabat Wina yang manja, “jantungan
nih gue!”
“Lagian ada apa sih, Fin? Berita buruk apa?” tanya Wina.
Fino menghela napas, “Bu Qelya tidak masuk hari ini. Dia sakit!”
“Cihuy!!,” sahut Aida, “berarti kita tidak belajar Bahasa
Indonesia dong pagi ini.”
“Hush, guru sakit koq lo malah senang sih, Da?,” Wina melototkan matanya ke Aida, “Bu Qelya sakit apa, Fin?”
“Tadi
sih yang gue dengar dari guru piket, Bu Qelya sakit kanker.”
Sebagian murid yang mendengar,
terkejut. Kata “kanker” membuat
mereka semua merasa khawatir. Tidak ada yang menyangka Bu Qelya, guru yang juga wali kelas mereka terserang kanker. Bu Qelya adalah guru yang rajin. Beliau jarang tidak
masuk dan selalu menyediakan waktunya untuk murid-murid yang ingin
berkonsultasi atau bertanya.
“Fin,
lo udah
tanya nggak Bu Qelya sakit kanker apa?”, tanya Johan. Dia
merasa sedih karena ada adiknya yang pernah mengidap kanker, namun tidak bisa terselamatkan.
“Wah gue gak nanya. Tapi gue tanya dimana Bu Qelya
dirawat. Kita mau menjenguk beliau, khan?,” kata Fino.
“Ya kita harus jenguk dong. Beliau khan wali kelas
kita,” jawab Bela.
“Trus, kita mau bawa apa waktu menjenguk Bu Qelya ?,”
kata Wina, “gue sih terpikir bagaimana Bu Qelya membiayai pengobatannya? Pasti mahal sekali”
Semuanya tertegun mengingat betapa sederhananya Bu Qeyla. Apakah beliau sanggup membiayai pengobatan
penyakitnya? Mereka sangat ingin membantu wali kelas mereka tersebut. Mereka
ingin Bu Qeyla sembuh dan dapat mengajar mereka kembali.
“Galang dana!” jawab Wina, “kita bisa menggalang dana untuk membantu biaya
pengobatan penyakit Bu Qelya.”
“Tapi bagaimana cara kita mendapat uang?. Uang saku gue aja pas-pasan”
tanya Rian, seksi keamanan di kelas itu.
“Iya gue juga begitu. Itu berarti kita harus bekerja atau menjual sesuatu untuk mendapatkan uang,” kata Wina.
“Jualan apa?,” tanya Rian lagi. “Jualan di mana? Kapan kita mau
jualan?”
Kelas pun menjadi ramai karena setiap anak memberi
ide untuk mendapatkan uang untuk
disumbangkan kepada Bu
Qelya. Ada yang ingin membuat minuman, gambar, makanan, perhiasan, melakukan sulap, dan lain-lain.
Lalu Bella mendiamkan teman-temannya, “Kalian kalo mau kasih ide jangan berisik dong. Coba
dengar ide gue nih! Bagaimana kalo kita bikin saja kerajinan tangan dari
barang-barang yang sudah tidak kita pakai!. Kita tidak keluar banyak uang untuk modal. “
“That’s
a great idea! Tapi bagaimana
bikin kerajinan tangannya? Apa kita bisa?” tanyaJohan.
“Gue juga setuju dengan Bella,” kata
Umairah.
“Ingat tidak kerajinan tangan yang pernah diajarkan oleh
Pak Reno? Kita bisa membuat itu. Kita bisa tanya Pak Reno juga untuk mengajarkan yang lain,” Bella lalu mengingatkan teman-temannya tentang
pigura, tempat pensil dan tempat tissu yang pernah mereka buat dari kertas
koran.
Kelas pun kembali ribut dengan
ide-ide membuat kerajinan tangan dari barang bekas lainnya.
“Wah, keren nih… Barang-barangnya nanti bisa kita jual pada saat bazar sekolah
minggu depan,” kata Bella, “bagaimana,
Win? Boleh nggak kita berjualan
di bazar?”
Wina sebagai ketua kelas mengetuk-ketukkan pulpennya ke meja. Itu
berarti dia sedang berpikir keras.
“Pleeeease!”
murid-murid lainnya memohon.
Wina pun menghela napas, “Oke, kita
buka stan 8 C di bazar nanti!”
“Tapi apa saja yang akan kita jual dan berapa banyak? Siapa
yang membuat apa? Bazar tinggal satu minggu lagi” tanya Fino.
“Well,
semuanya bisa bikin karya masing-masing di rumah. Bisa kalian kerjakan sendiri atau
berkelompok. Hasilnya kita kumpul di garasi rumah gue
Sabtu ini. Sekalian kita taruh harga di barang-barang,
dan bagi tugas siapa yang akan berjualan di stan. Bagaimana?
Setuju? Hari ini gue akan
daftarkan kelas kita ke panitia bazar. Kita pakai uang kas kelas dulu”
“SETUJU!” seru yang lainnya.
“Guys, sorry banget gue nggak bisa ikut bantu kalian,” Aida yang sedari tadi diam tiba-tiba memecah keriaan
mereka. Semua mata sontak melihat ke arahnya. Mereka tidak
menyangka Aida tidak ingin ikut kegiatan mereka yang tujuannya membantu Bu
Qeyla.
“Lho, kenapa? Kalo lo gak mau ikut bikin kerajinan, apa lo mau
menyumbang uang?” tanya Johan.
“Seminggu ini gue ada kegiatan. Gue gak punya banyak
waktu buat bikin kerajinan tangan. Gue juga gak punya banyak uang, sama dengan
kalian. Sementara ini kalian aja yang bantuin Bu Qelya,” ujar Aida. Dia sama sekali tidak berminat menyumbang untuk Bu
Qelya. Aida masih sakit
hati karena Bu Qelya
memberinya nilai enam untuk ulangan tengah semester. Padahal Aida sudah
mengorbankan waktunya untuk belajar, dan ia juga merasa sudah belajar dengan
tekun. Semua mata pelajar mendapatkan nilai rata-rata delapan, tapi hanya Bu
Qelya yang memberinya
nilai enam.
“Yah, Aida. Lo ini gimana, sih?”
keluh Wina, “kitakan mesti bantuin Bu Qelya. Kasihan beliau.”
Aida tidak menjawab. Dia langsung berdiri dan meninggalkan
kelas. Semua teman memandang Wina dengan tatapan heran. Wina pun hanya melongo.
Dia sama bingungnya dengan yang lain.
Bel pelajaran kedua berbunyi. Wina, Bella, Rian dan yang lain bergegas kembali ke
meja mereka masing-masing. Mereka terusik dengan perilaku Aida, tapi mereka
memutuskan untuk lebih berkonsentrasi dengan apa yang akan mereka siapkan untuk
bazar nanti.
Selanjutnya,
selama seminggu Wina dan teman-temannya sibuk membuat kerajinan tangan mereka. Ada yang membuat tas
dari plastik detergen,
lentera dari kaleng bekas dan
botol bekas, tempat
pulpen
dari stik es krim, pigura dan
gantungan kunci dari koran bekas, dan lain-lain. Mereka bertanya dan mendapat penjelasan dari Pak Reno. Mereka sangat antusias mengerjakan kerajinan tangan
masing-masing. Sementara itu, mereka juga secara bergantian datang menjenguk Bu
Qelya di rumah sakit.
Bu
Qelya ternyata mengidap
kanker hati, begitu saja yang
dikatakan Bu Qelya. Semuanya merasa
sedih, apalagi Bu Qeyla tampak kurus dan pucat. Tapi dia selalu tersenyum saat murid-muridnya datang
menjenguk. Dia selalu mengingatkan agar mereka rajin belajar dan tidak lupa
mengerjakan tugas.
******
Hari Sabtu, Wina dan teman-temannya berkumpul di garasi rumah Wina. Ayahnya sengaja mengeluarkan mobil dari garasi agar
mereka bisa menaruh barang-barang dan membicarakan persiapan stan mereka. Banyak
sekali kerajinan yang dibuat oleh mereka, dan semua bagus-bagus.
Wina
menugaskan teman-temannya untuk menghitung jumlah kerajinan, lalu mereka
menentukan berapa harga tiap kerajinan. Mereka semua sibuk bekerja. Ibu Wina
menyiapkan minuman dan makanan kecil. Tapi mereka tidak merasa lapar dan haus.
Mereka sangat antusias menyiapkan barang jualan karena mereka berharap bisa
menjual semua.
Keesokan
harinya, bazar di sekolah. Kelas 8C mendapatkan stan di dekat pintu masuk
sekolah. Hanya Wina, Bella, Fino dan lima orang lainnya bertugas di stan secara
bergantian. Wina memang tidak meminta semua murid kelas 8C bertugas tapi dia
meminta mereka untuk mengajak orang tua dan teman-teman mereka untuk datang. Di
depan stan, mereka memasang papan bertuliskan “Hasil penjualan akan
disumbangkan kepada Bu Qelya.” Dengan begitu mereka berharap banyak orang yang
akan membeli barang jualan mereka.
Bazar berlangsung dari pukul 10 pagi sampai
dengan 4 sore. Stan kelas 8C tidak pernah sepi, dan barang-barang mereka hampir habis terjual. Banyak
pengunjung bazar yang mengenal Bu Qelya. Mereka sangat prihatin dengan penyakit
Bu Qelya, dan ingin juga membantu menyumbang.
Saat mereka tengah beristirahat,
Fino melihat Aida bersama orang tua dan kakaknya. “Guys,
lihat itu Aida. Katanya dia sibuk, tapi bisa tuh datang.”
“Oh iya, kakaknya Aida khan nanti akan menyanyi di panggung,” sahut Johan, “pasti orang tuanya mau menonton. Aida pasti dipaksa
untuk ikut. Lihat tuh mukanya merengut begitu.” Yang lain langsung menengok ke
arah Aida dan memperhatikan secara seksama wajah Aida. Tidak mereka duga, Aida
melihat ke arah mereka.
“Hey Aida,
mampir ke sini!” panggil Wina. Tapi Aida membuang wajahnya.
“Ih
judes banget! Dia punya masalah apa sih sampai tidak mau bantu kita?,” kata Bella.
“Sudahlah
kalo dia tidak mau bantu,” kata Umairah, “tidak usah dimasukkan ke hati. Mungkin dia sedang punya
masalah.”
Tiba-tiba
Rian menyenggol tangan mereka.”Guyssss…. Orang tua Aida ke sini tuh.” Mereka pun terdiam. Ayah dan
ibu Aida sedang berjalan menuju stan mereka. Serempak mereka kemudian memberi
salam.
“Selamat
siang om dan tante.”
Ayah
dan ibu Aida menegur mereka kembali. “Lho koq Aida tidak memberi tahu tante
kalo kalian membuka stan?,” tanya ayah Aida, “Aida mana?.”
Fino
menyenggol tangan Wina. Dia tidak tahu harus menjawab apa kepada ayah Aida. “Hmmm mungkin Aida lupa, om,” jawab Wina. Dia tidak mau cari masalah dengan Aida.
“Aida!,” ibu Aida memanggil Aida yang berdiri jauh dari stan. Dia
menengok dan wajahnya langsung pucat. Aida berjalan pelan-pelan ke arah orang
tuanya.
“Yang
mana kerajinan kamu, Aida?,” tanya ibu Aida kepadanya. Aida menatap teman-temannya. Tapi
teman-temannya tidak ada yang mau menatapnya kembali.
“Hmmm…aku
tidak bikin kerajinan, bu,” kata Aida sambil menunduk.
“Kenapa
tidak? Kamu khan sedang tidak banyak kegiatan,” kata ayah Aida lagi. Aida makin
menunduk. Dia takut ayahnya marah kalo tahu dia tidak membantu teman-temannya
menggalang dana buat Bu Qelya.
HP Wina tiba-tiba berbunyi. Rupanya Pak Yusuf, guru
Agama Islam menelpon.
“Assalamualaikum, pak” kata Wina.
“Wa’alaikumsalam. Bapak hanya ingin memberitahu kalau Bu Qelya masuk ICU”
Wina kaget, “Astagfirullah al-adzim..... kapan beliau masuk ICU, pak?” tanya Wina.
“Beliau masuk ICU sejak tadi malam,” jawab Pak Yusuf, “ karena penyakitnya bertambah parah.”
“Terima kasih sudah memberitahu, pak.
Saya akan kasih tahu
teman-teman. Assalamualaikum.” Wina menutup hpnya. Yang lain memandangnya, menunggu apa yang dikatakan
Pak Yusuf kepadanya.
“Ada apa Win? Siapa yang menelpon?”
tanya Umairah.
Wina menghela napas, “itu tadi Pak Yusuf. Beliau memberitahu gue kalau....,”
Wina menghela napas lagi untuk menahan tangisnya, “Bu Qelya masuk ICU sejak tadi malam.”
Semua yang mendengar kaget, termasuk Aida. Saat itu Aida merasa sangat bersalah terhadap Bu
Qelya.
“Ternyata penyakit Bu Qelya sangat gawat. Apakah beliau akan sembuh?” Mata Aida berkaca-kaca.
“Kenapa beliau bisa masuk ICU, Win?” tanya Fino.
“Penyakitnya bertambah parah, teman-teman,” jawab Wina
sedih.
“Apakah beliau akan sembuh?,” tanya Bella, “ICU khan ruang perawatan untuk mereka yang penyakitnya
sudah parah. Aku ingat kakekku masuk ICU, dan beliau tidak bisa diselamatkan”
Murid-murid lain ikut sedih. Mereka khawatir Bu Qelya tidak akan sembuh. Mereka ingin sekali menjenguk Bu
Qelya di ICU, tapi bagaimana dengan stan mereka?
“Berapa
lagi barang kalian yang belum terjual?,” ayah Aida bertanya. Dia menyuruh Fino
menghitung semua barang yang tersisa.
“Berapa semuanya?,” tanya ayah Aida lagi. Johan mengeluarkan kalkulator dan menghitung total harga
barang. “Saya beli semua barang kalian,” ayah Aida mengeluarkan dompetnya.
Wina dan teman-teman tertegun, lalu mereka bersorak. Aida mememluk
ayahnya. “Terima kasih ayah,” bisiknya. Ayah Aida tersenyum, “ayo bantu Om angkat barang ke mobil.” Fino dan Rian bergegas menaruh barang-barang ke kantong plastik,
dan menemani ayah Aida ke tempat parkir.
“Terima
kasih Aida,” kata Wina menghampiri Aida.
“Tapi gue nggak bantu kalian,” jawab Aida, “gue kesal sama Bu Qelya, tapi gue gak nyangka bahwa penyakit Bu Qelya sangat parah. Sekarang gue menyesal tidak
berbuat apa-apa untuk membantu beliau.” Aida meneteskan air mata.
“Gak
apa, Aida. Ayah lo khan sudah memberi dana yang banyak buat kita. Kalo lo mau,
karena barang-barang kita sudah habis, setelah membereskan stan, kita pergi
menjenguk bu Qelya,” ajak Wina. Dia merasa kasihan terhadap Aida.
Setelah mereka menghitung uang yang terkumpul, dan membereskan
stan, Wina mengajak teman-temannya untuk pergi ke rumah sakit. Jumlah uang yang
terkumpul di luar perkiraan mereka, karena ada yang membeli tapi menyumbangkan
uang kembaliannya untuk disumbangkan. Mereka berharap uang tersebut dapat
meringankan biaya perawatan Bu Qelya. Wina juga menelpon teman-teman yang lain
mengabarkan kondisi Bu Qelya. Sebagian
berjanji untuk bertemu dengan mereka di rumah sakit, tempat Bu Qelya dirawat.
******
Sesampainya di rumah sakit, Wina dan teman-temannya bertemu
dengan orang tua dan adik Bu
Qelya. Mereka memberitahu
kondisi terakhir Bu Qelya. Lalu secara bergantian mereka masuk menjenguk Bu
Qelya karena tidak semua orang bisa masuk ke ICU.
Ditemani oleh adik Bu Qelya, Wina masuk ke kamar rawat
bersama Umairah, Fino dan Aida. “Assalamualaikum,”
salam mereka.
“Waalaikumsalam,” jawab Bu Qelya lemah. Tapi Bu Qeyla tetap menunjukkan senyumnya. “Apa kabar Wina, Umairah, Fino, Aida?.”
“Alhamdullillah
baik bu,” jawab Fino. Aida memegang tangan Wina. Dia tidak mampu
berkata-kata. Wajah Bu Qelya sangat pucat. Di tangannya terpasang selang infus
dan obat. Di meja samping tempat tidur, ada obat, botol air minum, gelas dan
kue yang tidak termakan. Hanya ada satu tempat duduk di dekat tempat tidur. Umairah,
Fino dan Aida berbagi
tempat duduk, sementara Wina duduk di dekat kaki Bu Qelya. Dia langsung memijit kaki Bu Qelya. Adik Bu Qelya mengambil tisu dan menghapus air mata yang
menetes di pipi Bu Qelya.
“Bu
Qelya senang sekali setiap kali murid-muridnya datang menjenguk. Dia ingin
sekali kembali berkumpul dan mengajar kalian,” kata adik Bu Qeyla, Bu Irma, “dia ingin menemani kalian pergi outing, pesantren Ramadhan, studi lapangan dan melihat kalian lulus SMP.”
Mendengar
itu, Aida menyembunyikan wajahnya dibalik punggung Wina. Diam-diam dia mengusap
air matanya.
“Kami
akan tunggu ibu di
sekolah,” kata Umairah, “makanya ibu harus sembuh. Kami selalu mendoakan agar
ibu kembali sehat.” Dia sendiri menahan kesedihannya. Tapi dia tidak mau Bu Qelya melihatnya bersedih.
“Ibu,”
lanjut Wina, “tadi pagi di sekolah ada bazar, dan kami membuka stan
hasil kerajinan tangan kami. Ini hasil penjualan tersebut. Kami berikan ini untuk ibu
agar ibu lebih bersemangat untuk sembuh.” Wina memberikan amplop uang hasil penjualan ke tangan
Bu Qelya.
Bu Qelya kembali menangis. Dengan terbata-bata, ia mensyukuri
pemberian murid-muridnya. “Ya Allah, Alhamdullillah.
Terima kasih anak-anakku tersayang! Ibu tidak menyangka kalian sangat perhatian pada Ibu.”
“Wah
perhatian dong bu… Kalo tidak, nanti siapa yang memarahi saya kalo nilai
ulangan saya jelek?,” Fino berusaha membuat Bu Qelya terhibur.
Lalu, Aida memegang tangan Bu Qelya. “Bu,” mata Aida berair. Dia pun
menangis, “ibu maafin Aida, bu. Aida sudah berprasangka buruk pada ibu. Aida sekarang tidak kesal lagi sekalipun ibu tidak memberikan nilai yang bagus kepada
Aida!”
Bu Qelya tersenyum dan mengusap kepala Aida. “Ibu juga
minta maaf karena tidak memberikan nilai bagus. Tapi jawaban ulangan Aida memang banyak salah.
Aida pintar untuk pelajaran lain. Tapi Aida kurang teliti waktu mengerjakan
ulangan pelajaran ibu.”
“Iya
bu,” kata Aida. Dia sangat terharu karena Bu Qelya juga
meminta maaf. Padahal dia lah yang bersalah karena tidak mengerjakan ulangan dengan
baik. Aida berjanji dalam hati bahwa ia
akan belajar lebih giat lagi.
“Ibu juga minta maaf kepada Wina, Bella dan
teman-teman kalian yang lain kalo ibu selama ini suka memarahi kalian. Itu ibu
lakukan justru karena ibu sayang kepada kalian. Ibu ingin anak-anak ibu menjadi
anak-anak yang pandai, memiliki iman yang kuat dan peduli terhadap sesama,” Bu
Qelya menghela nafasnya. Banyak berbicara membuat dirinya capai. Tapi kehadiran
Wina dan teman-temannya membuatnya bangga karena dia berhasil membuat mereka
menjadi anak-anak yang mampu mewujudkan ide mereka dan saling membantu. Bu
Qelya berharap bisa berkumpul bersama mereka lagi, karena hanya Allah yang bisa
merubah takdirnya.
******
Beberapa hari setelah kunjungan Wina dan
teman-temannya, Bu Zahra, guru IPS mengumpulkan murid
kelas 8C di kelas mereka. Mukanya murung, dan ia membawa sepucuk surat.
Setelah
menyapa mereka, Bu Zahra berkata,” Anak-anak, ibu membawa surat dari dari Bu Qelya untuk kalian. Ibu minta Wina untuk membacakannya. Tapi sebelumnya, ibu mohon
kalian tenang,” Bu
Zahra lalu memberikan surat itu kepada Wina.
Wina kemudian berdiri di depan kelas, dan mulai membaca surat Bu Qelya.
Assalamu’alaikum anak-anakku,
Apa
kabar kalian semua? Ibu harap kalian dalam keadaan sehat. Jika kalian membaca ini, ibu ingin
kalian semua ikhlas.
Sejak kecil, ibu bercita-cita ingin
menjadi guru. Ibu ingin mencerdaskan anak-anak untuk bisa menjadi pemimpin dan
penerus bangsa. Ibu senang saat melihat anak-anak didik ibu mampu menyerap ilmu yang
diberikan di sekolah, lalu meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Ibu bahagia bila anak-anak ibu
selain pintar juga berakhlak dan berbudi mulia. Karenanya, ibu ingin kalian menjadi anak-anak
yang nantinya bisa membuat ibu senang dan bahagia. Janji ya?
Penyakit
ibu bukanlah penyakit yang mudah disembuhkan. Beberapa hari setelah kalian
datang menjenguk ibu, kondisi ibu semakin melemah. Padahal
ibu sudah menjalani semua pengobatan. Tapi ibu tidak kunjung sembuh. Ibu sudah
lelah hanya berbaring di rumah sakit, dan ibu
minta pulang ke rumah keluarga ibu
di Padang.
Ibu ingin berada dekat dengan mereka. Lagipula dengan kondisi ini, ibu tidak bisa lagi mengajar.
Maafkan ibu karena tidak bisa mampir ke sekolah untuk berpamitan dengan kalian.
Terima kasih banyak atas tanda kasih
yang kalian berikan ke ibu. Kalian sangat memedulikan ibu. Padahal ibu belum berbuat banyak untuk
kalian. Ibu mohon maaf bila ibu
memiliki salah kepada kalian. Pesan
ibu, teruslah belajar dengan rajin untuk bisa menggapai cita-cita kalian. Ibu jamin
kalian pasti bisa melakukannya. Doa ibu menyertai kalian.
Wassalam,
Bu Qelya
“Anak-anak,”
kata Bu Zahra, “surat ini ditulis Bu Qelya tiga hari yang lalu, namun Ibu baru
menerima surat ini kemarin. Adik Bu Qelya sibuk mengurus kepulangan Bu Qelya sehingga
lupa menyampaikannya ke Ibu.” Ia menyuruh Wina kembali duduk. Dengan perlahan, ia melanjutkan
perkataanya, “sebelum ibu menemui kalian, Kepala Sekolah baru saja menerima
telepon dari keluarga Bu Qelya. Mereka mengabarkan bahwa beliau sudah meninggalkan
kita.”
Kelas
menjadi gaduh. Wina dan teman-temannya saling berpelukan dan menangis. Mereka
tidak percaya bahwa Bu Qelya, guru tersayang mereka sudah tiada. Mereka sangat menginginkan beliau sembuh dan bisa mengajar mereka kembali. Tiap pagi sebelum
kelas dimulai, mereka selalu mengirimkan doa untuk Bu Qelya. Mereka
berjanji akan selalu belajar untuk menggapai cita-cita mereka demi Bu Qelya.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar